Senin, 16 Juli 2007

Parodi Hidup dan Mimpi Tanpa Kata


Oleh Alex Suban (Wartawan Suara Pembaharuan)


HALUSINASI - Pantomimer, Jemek Supardi, memainkan peran sebagai pelukis yang terhanyut dalam kekaguman karyanya. Ia bermimpi lukisannya menjelma menjadi nyata, dalam salah satu nomor pantomim "Halusinasi Seorang Pelukis" di Bentara Budaya Jakarta, baru-baru ini.
HARAPAN sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Mungkin karena itu, kehidupan manusia selalu dibayangi mimpi. Kenyataan hidup terasa jauh lebih rumit dari mimpi. Begitulah versi hidup dari Jemek Supardi yang menggunakan medium pantomim untuk refleksi problematika hidup di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), baru-baru ini.Jemek Supardi menggelar pertunjukan dalam rangka 50 tahun perjalanan berkeseniannya. Dengan pertunjukan yang sama, Jemek tampil sukses di Yogyakarta Maret 2003. Aksi pantomimnya di BBJ disaksikan sekitar 200 orang yang duduk lesehan. Jemek menggunakan properti panggung yang sederhana, selembar layar putih membentang di tengah panggung.Pentas yang berjudul Berkesenian Tanpa Kata-kata ini kental dengan parodi, khas tontonan pantomim. Di depan penonton, dia berkisah tentang nasib para tukang cukur yang tergilas salon-salon mewah. Tukang cukur yang kerap mangkal di bawah pohon makin tersingkirkan, sepi pelanggan. Sampai-sampai, si tukang cukur mesti merayu seorang bocah agar mau dicukur. Berikutnya sebagai gambaran ironi, mereka malah saling mencukur demi eksistensi profesi.Gaya pantomim yang kocak masih diangkat Jemek pada segmen selanjutnya. Jemek menyentil kesombongan yang menjadi budaya masyarakat. Kali ini, dia berlagak seperti pelukis kawakan. Jemek dengan atribut pelukis mengerjakan lukisan seorang penari. Wajah si penari yang jelita sangat padu dengan tubuhnya yang gemulai. Jemek menampilkannya lewat siluet penari di balik kain putih.Sang pelukis sangat mengagumi karyanya. Tubuh penari itu demikian indahnya sehingga ia memandangi terus ke arah kanvas. Ia larut dalam kekagumannya, sehingga terlelap dan terbuai mimpi.Dalam halusinasinya sang penari melompat dari kanvas dan menari mengelilinginya. Perempuan jelita berkemben merah dan berambut hitam menari dengan lemah gemulai. Sang penari mengelilingi dan mendekati sang pelukis yang tertidur, kemudian mengelus rambutnya. Bau ha-rum tubuh sang penari membangkitkan pelukis dari lelapnya. Dengan wajah tak percaya tatapannya tak bisa menghindar dari gemulainya gadis molek itu. Ia terhanyut kala sang penari mencium pipinya. Sang pelukis tak kuasa menahan diri dan ia melompat dari kursinya. Dia mengejar sang penari dan merengkuhnya. Sang pelukis terbangun, karena menabrak kanvas lukisan.Jemek dan kawan-kawannya dari Yogyakarta, tidak hanya menampilkan keseriusan dalam pertunjukannya. Kelucuan-kelucuan mengalir dari gerakan-gerakan konyol yang menyentil. Gelak tawa para penonton tidak henti-hentinya saat adegan mandi.CerobohBetapa cerobohnya seorang dokter yang mengoperasi pasiennya di ruang bedah. Sang dokter sampai meninggalkan telepon genggam di dalam perut si pasien.Nama Jemek dan pertunjukannya yang menghibur dengan sentilan yang cerdik, menahan penonton untuk tetap bergeming, walaupun harus bersusah-susah menembus hujan deras yang mengguyur saat itu.Jemek yang pada 4 April 2003 sudah menjalani hidup selama setengah abad memang lebur dalam dunia seni tanpa kata-kata. Pantomim sudah mengalir dalam urat nadi seniman asal Yogyakarta ini. Walaupun seni pantomim tidak mendapat tempat sejajar dengan seni pertunjukan lainnya, Jemek tetap konsisten menjalaninya.Dalam perjalanan hidupnya yang penuh kontroversi, kegelisahan selalu mengganggu pikirannya. Namun ia tidak lancar menjalin kata-kata yang indah, sehingga kegelisahannya ia ramu dalam berbagai karya yang ditampilkan sebagai refeleksi setengah abad usianya.Jemek memang penuh kontroversi, bahkan kegilaan menurut ukuran orang biasa. Ia tidak hanya berpantomim di atas panggung, lahan kuburan pun menjadi pentasnya dalam berkesenian. Berbagai cara dilakukannya untuk menaikkan pamor pantomim. Mengkritik Soeharto dengan bahasa tubuh pun ia lakukan dalam waktu sepuluh jam perjalanan kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta. (A-20)

Jumat, 13 Juli 2007

Melawan Korupsi via Pantomim

MELAWAN tindakan korupsi tidak selalu dengan kata-kata. Jemek Supardi (54) misalnya, justru dengan gerakan-gerakan yang jika diterjemahkan maknanya juga sama, yakni berantas korupsi. Pada kampanye anti korupsi yang berlangsung di Bunderan UGM, persis di hari valentine, 14 Februari lalu, pantomimer Jemek Supardi pun dalam aksinya mencoba mengekspresikan tindakan seorang pejabat yang coba-coba melakukan korupsi. Malahan, jika memerhatikan gerakan pantomim yang digambarkan Jemek, korupsi yang dilakukan pejabat itu, sudah sangat blak-blakan. “So!” kata Jemek sembari menempelkan telapak tangannya ke tangan Hendro Pleret yang saat itu bertindak sebagai MC.
Saat berbincang dengan KR, Jemek menyatakan, bukan pekerjaan gampang memerangi korupsi. Apalagi, penyakit tersebut dinilainya sudah mendarah daging di negeri ini. Tetapi, diakuinya, tema korupsi sangat menantang untuk diangkat dalam seni pantomim. “Ya, kalau saya tema korupsi yang sederhana dan ada di sekitar kita saja,” kata Jemek, yang tetap setia dengan profesinya itu.Menurut Jemek, seorang pekerja seni pun bisa melakukan korupsi. Misalnya, dirinya yang seharusnya tampil 15 menit, tetapi ternyata belum genap 10 menit sudah rampung. “Itu, kan juga korupsi waktu,” ujar Jemek yang mengaku sudah berusia lebih dari kepala lima ini.

Ketika mendapat tawaran untuk mengisi acara kampanye anti korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di UGM, Jemek merasa senang dan tak masalah. “Karena, pantomim sudah merupakan profesi, saya jalani saja,” katanya. Bagi Jemek, seni pantomim bukan sekadar dimainkan asal-asalan.

Tetapi, harus penuh penghayatan. Bahkan, tak jarang yang ia lakukan merupakan pengalaman keseharian yang dihadapi. Dalam kehidupan nyata, Jemek sudah banyak makan asam garam. Dirinya, pernah menjadi penggali dan penunggu kubur. Laki-laki dengan ciri khas menggunduli separo kepalanya ini, pernah pula menjadi ‘pemangsa’ sesaji yang dipersembahkan seorang peziarah di tiap malam Jumat Kliwon.Sejumlah karya Jemek yang pernah dipentaskan di panggung di antaranya Lingkar-lingkar, Dokter Bedah, Tukang Cukur, Halusinasi Seorang Pelukis, Jakarta-jakarta dan Kesaksian. Di kalangan seniman di Yogya, Jemek Supardi, termasuk suhu. Terlebih, kepiawaiannya berpantomim belum ada yang menyamai, sehingga ia pun sering menjadi jujugan para junior untuk berguru. (Obi)-o

Jemek “Mimer Sejati” Supardi


Sena A. Utoyo dan Didi Petet tahun 1987 keduanya membuat wadah teater pantomim Sena Didi Mime.Kelompok ini memproklamirkan diri sebagai teater pantomim karena dalam penampilannya selalu melibatkan banyak pemain. Teknik gerak yang ditampilkan perpaduan gerak klasik, gerak modern, gerak tradisional dalam seni pantomim. Dalam garapannya selalu menampilkan tema sosial, suasana puitis serta simbolik. Hal itu dapat dilihat dalam karyanya seperti: Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989) Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), dan Kaso Katro (1999). Jika dahulu Sena A. Utoyo (alm.) lewat kelompoknya Sena Didi Mime berusaha memasyarakatkan mime di Indonesia.
Sekarang masih adakah seniman mim sejati yang tetap setia menghidupi seni pantomim di Indonesia. Pengabdiannya yang panjang dan usianya setengah abad memang bukan hal yang mudah untuk tetap eksis dan intens dalam sebuah profesi. Siapa dia Seniman pantomim itu? Ternyata dia ada di Yogyakarta, namanya Jemek Supardi. Laki-laki kelahiran dusun Kembangan Pakem Sleman 22 Mei 1957 ini bertubuh kecil bahkan kecentet seperti Charlie Chaplin, jidatnya lebar. Penampilan kesehariannya sangat sederhana. Kaos, celana jeans belel dan topi biasa dikenakan. Tetapi kalau sudah diatas pentas gerak-geriknya bagaikan tiada tertandingi oleh siapa pun.
Masa kanak-kanak Jemek sudah akrab dengan keramian kota Yogya. Ia bersama keluarganya tinggal di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta yang sangat dekat dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) sekarang Pura Wisata. Latar pendidikan formal Jemek diawali di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Di SSRI ini ia hanya bertahan belajar selama dua bulan.
Jemek raja Kampret. Masa remaja Jemek diwarnai dalam kehidupan dunia hitam. Ia di lingkungan preman jamannya dikenal dengan nama kebesaran Kampret. Dimana daerah kekuasaan si Kampret berada di kawasan kuburan Kerkop THR Yogyakarta dan sekitarnya.Kampret adalah sejenis kelelawar, binatan malam yang biasa terbang mencari mangsa, mencuri buah-buahan di malam hari. Itulah sekilas masa lalunya Jemek Supardi. Berkat kesenian ia pun menjadi sembuh dari kebiasaan mengkampret.
Jemek dalam kesempatan tertentu mengatakan tentang seluk beluk dunia hitamnya. “Saya pernah masuk bui di Cirebon, nginap gratis di Kepolisian Ngupasan Yogya, akibat terseret dunia hitam. Itu kenyataan hidup saya yang tidak dapat dipungkiri. Berkat kesenian, saya dapat hidup normal. Saya berhutang budi pada kesenian sebab saya diberi pelajaran hidup yang berharga oleh seni. Untuk itu saya tidak dapat lepas dari seni, khususnya pantomim. Pantomim membuat saya ada artinya. Simbok saya pun menjadi tenteram dengan kehidupan saya yang menekuni kesenian. Tidak seperti dulu, terseret dunia jahat”.
Awal mula Jemek mengarungi dunia seni dilakukan di sanggar atau kelompok teater. Tahun 1974 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN. Ia banyak belajar dalam bidang artistik, sebagai kru pementasan dan selalu serius mengikuti olah tubuh. Di kelompok inilah asalmuasalnya Jemek berpantomim. Jemek selalu mengikuti Merit Hendra latihan pantomim. Segala gerak-gerik Merit ditirukan, ia pun rajin berlatih secara terus menerus tentang bahasa tubuh.Selain di Teater Alam, Jemek juga aktif di Teater Dipo yang merupakan cikal bakal Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno. Beberapa pentas bersama Teater Dinasti yang dialami Jemak antara lain: Syeh Siti Jenar, Gendrek Sapu Jagad, Geger Wong Ngoyak Macan, Umang-umang. Kemudian Jemek bersama Jujuk Parbowo pernah membantu Yullie Taymor, seorang teaterawan boneka Amerika Serikat keliling Indonesia.
Pemahaman Jemek tentang pantomim masih jauh dari sempurna, baru tahun 1975 ketika di gedung Seni Sono Art Galery ada pementasan mime berjudul Manusia dan Kursi oleh Wisnu Wardhana, maka pantomim semakin menjadi perhatiannya. Kenapa Jemek memilih pantomim, seperti dituturkannya:”Saya menggeluti pantomim, soalnya saya itu sangat kesulitan menghafalkan naskah dalam setiap produksi teater. Jika disuruh menghafalkan naskah selalu tidak nyantol, maka saya lebih puas bergerak melalu seni pantomim ini”. Mulai saat itulah Jemek menjatuhkan pilihan pada pantomim sebagai wahana ekspresi artistiknya.
Dunia seni pantomim bagi Jemek Supardi mepakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Jemek berkat pantomim dapat menemukan kembali kesadarannya sebagai manusia normal. Ia kembali dalam kewajaran manusia yang harus bermasyarakat. Kapan Jemek mulai berpentas pantomim? Secara lugas dijawabnya, “Persisnya saya lupa. Kalau tidak salah mulai tahun 1976. Pertama kali mendukung pementasan pantomim Azwar AN., yang berjudul Malin Kundang di gedung Seni Sono Art Galery. Saya pun tidak muncul penuh, hanya telapak tangan dan telapak kaki saja yang dilihat penonton. Itulah awal saya ikut pentas pantomim, belum pentas sendiri”.
Proses kreatif Jemek dalam mecipta pantomim dilakukan dengan menggeliding. Lebih kanjut dipaparkan sebagai berikut:”Dalam mencipta, mime, ya, saya menggelinding saja. Seperti dalam kehidupan ini. Saya sudah di cap sebagai pantomimer, maka saya harus berkarya. Yang penting bagi saya mengolah tubuh supaya luwes, ada ide yang orisinal, keberanian berekspresi dan mementaskannya secara serius”. Proses yang dilakukan Jemek dengan olah tubuh, yakni bagaimana seorang seniman harus bekerja keras menyiapkan dirinya masuk dalam proses berkesenian secara total. Dengan demikian pasrah dirilah. Mental, pikiran dan tubuh harus lentur.
Karya seni mime Jemek Supardi biasanya dibawakan tunggal dan kolektif. Dekade 1970-an merupakan masa proses pencarian mime Jemek Supardi, yang terangkum dalam Sketsa-sketsa Kecil (1976-2979). Delkade 1980-an karya-karyanya seperti: Perjalanan hidup dalam gerak (1982), Jemek dan Laboratorium, Jemek dan teklek, Jemek dan Katak, Jemek dan Pematung, Arwah Pak wongso, Perahu Nabi Nuh (1984), Lingkar-lingkar, Air, Sedia Payung Sesudah Hujan, Adam dan Hawa, Terminal-terminal, Manusia Batu (1986), Kepyoh (1987), Patung selamat datang, Pengalaman Pertama, Balada Tukang beca, Halusinasi, dan Wamil (1988). Dekade 1990-an, karya-karyanya meliputi: Maisongan (1991), Menanti di Stasiun (1992),Termakan Imajinasi (1995), Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-kotak, Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badut-badut republik atau Badut-badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak menangis, Menunggu Waktu, Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta (1998) dan Eksodos (2000).
Mas Jemek yang sudah mencurahkan hidupnya di pantomim saat ini pun tetap tinggal di bilangan Jl. Brigjen Katamso didampingi sang isteri Treda dan putrinya Sekar bahkan tetap setia menunggui Simboknya. Fenomena Jemek dalam era reformasi semestinya akan semakin menambah munculnya “mimer sejati”. Siapa yang berani memasuki dunia kesejatian diri seperti Jemek Supardi? Broto Wijayanto, kau mau jadi generasi atau yang lain? Dan ruang waktu lah yang akan menguji !

Kamis, 12 Juli 2007

Seni Hidup dari Kuburan


Sebuah catatan oleh Sindhunata)

INILAH kisah tentang seorang tukang cukur. Dia bukan pemotong rambut modern. Dia hanyalah tukang cukur tradisional. Maka tempat kerjanya bukan di salon, melainkan di bawah pohon. Selain gunting, di mejanya ada tondhes serta semprotan untuk memiting dan membasahi rambut.
SUDAH lama tukang cukur itu duduk termangu, tak juga datang pelanggan yang ditunggu. Sesekali datang jugalah orang padanya. Dia sudah siap mencukurnya. Ternyata orang itu hanya mau pinjam sisirnya saja. Kemudian datang orang lain. Kali ini ia hanya numpang meminjam gunting untuk merapikan kumisnya. Tak lama kemudian datang lagi seorang lain. Ia pun hanya berhenti sejenak, mematut-matut diri di depan kaca.
Tukang cukur itu melongo. Ia benar-benar ingin mencukur, tapi tak ada orang yang mau dicukur. Syukur ada seorang anak kecil. Sebenarnya anak ini sama sekali tak berniat mencukurkan rambutnya. Tapi karena diiming- imingi permen oleh si tukang cukur, akhirnya ia mau dicukur.
Ternyata rambut anak itu sulit dicukur. Maklum, rambutnya gimbal berikal-ikal. Digunting tidak mempan, di-tondhes mental, sampai si tukang cukur kehabisan akal. Tiba-tiba anak itu terkaget, ternyata kepalanya kejatuhan tahi burung.
Sejak itu, si anak tak bisa tenang lagi. Sebentar-sebentar kepalanya menggeleng ke sana ke mari. Tukang cukur meluruskan kepalanya berkali-kali, toh kepala anak itu terus miring ke kanan miring ke kiri. Habis sudah kesabaran si tukang cukur. Kepala anak itu pun dijitaknya.
Tentu anak kecil itu lalu menangis. Ia lari, lalu kembali lagi bersama ayahnya. Si ayah marah-marah, sambil menunjukkan rambut anaknya yang petal-petal. Dengan geram ia menyuruh tukang cukur merampungkannya.
Belum selesai dicukur, hujan mendadak turun. Anak itu lari, sementara selubung kain putih yang melekat di badannya ikut terbawa pergi. Si tukang cukur melongo lagi. Ia menoleh ke teman di sebelahnya yang juga tukang cukur.
Teman ini juga sedang sepi dari pelanggan. Maka si tukang cukur minta agar temannya ini bersedia untuk dicukur. Setelah itu ia sendiri ganti meminta agar temannya mencukurnya. Kedua tukang cukur yang sama-sama sepi pelanggan itu akhirnya saling cukur-cukuran.
Begitulah kisah si tukang cukur. Harap diingat, cerita itu bukan berasal dari dongengan lisan atau tulisan, melainkan dari adegan pantomim yang dipentaskan oleh Jemek Supardi. Jemek, pantomimer terkenal dari Yogyakarta, yakin bahwa pantomim mempunyai kekayaan dan kemampuan yang tidak dipunyai seni lainnya.
Dengan pantomim, ia merasa lebih bisa mengimaginasikan dan menghidupkan apa yang kurang bisa diimaginasikan atau dihidupkan seni lainnya. Adegan tukang cukur di atas kiranya membuktikan perkiraan tersebut: Dengan gerak pantomim, kisah sepi pelanggan seorang tukang cukur ternyata bisa digarap menjadi khayalan tentang kesepian manusia pada umumnya.
Halnya adalah konkret, yakni peristiwa tukang cukur yang sepi pelanggan. Pantomim Jemek ternyata bisa mengubah kesepian yang konkret ini menjadi absurditas kesepian manusia. Dan tukang cukur itu pun berubah menjadi karikatur manusia yang konyol dan absurd karena didera oleh kesepiannya.
Dalam kesepian itu ia menjadi terasing dari pekerjaannya, sampai ia ngebet untuk bisa mencukur lagi. Begitu ia merasa bisa mencukur, tahi burung mengganggunya, dan hujan melepaskan kesempatan itu, sampai akhirnya ia kehilangan selubung putihnya. Ia lalu menyerah, dan terjadilah puncak dari absurditas kesepian itu: tukang cukur itu yang haus mencukur itu akhirnya menyerahkan kepalanya sendiri untuk dicukur.
KHAS Jemek, ia selalu berupaya memberangkatkan pantomimnya dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Itulah yang tampak misalnya dalam karyanya Menggapai Perahu Nuh. Di sini Jemek menggambarkan, tiba-tiba dunia ini dilanda banjir. Banjir dahsyat itu menenggelamkan semua makhluk.
Dari atas turunlah perahu Nabi Nuh. Baik mereka yang mati maupun yang hidup menggapai-gapai perahu itu. Mereka tidak berhasil, dan tertinggal dalam malapetaka. Sebagai manusia, Jemek terkejut, ternyata bukan hanya manusia yang masih hidup, tapi juga arwah-arwah yang mati itu pun belum memperoleh keselamatannya. Maka ia pun berdialog dengan mereka, dan berupaya membantu mereka menyelamatkan diri.
Adegan "Perahu Nuh" ini sungguh berangkat dari pengalamannya yang nyata. Di suatu siang Jemek tertidur kelelahan di makam Kintelan. Ia bermimpi, makam itu tiba-tiba kebanjiran. Ia sendiri tenggelam dan melihat makhluk-makhluk keluar dari kuburan.
Jemek tersadarkan dari mimpinya, ketika dua rekannya, Djaduk Ferianto dan Suharno, membangunkannya untuk segera latihan teater. Dari mimpinya inilah Jemek menyusun karyanya, dengan tujuan mempertontonkan kepada siapa saja, bahwa betapa pun sudah berada di ujung malapetaka, mereka yang hidup maupun yang mati tetap mempunyai kesempatan untuk menantikan pintu surga.
Sesungguhnya tak mengherankan bila makam atau kuburan memberi inspirasi bagi Jemek. Maklum, kuburan adalah tempat yang akrab baginya. Malahan dari kuburan itulah ia pernah mendapatkan nafkah hidupnya.
Jemek bertutur, tak lama sesudah peristiwa G30S PKI, ada pembongkaran kuburan Belanda di daerah THR Yogyakarta. Kuburan itu hendak dijadikan terminal. Waktu itu Jemek belum berkesenian, umurnya menjelang dua puluh tahun.
Siang hari ia menyaksikan, bagaimana kuburan-kuburan itu digali. Malam hari ia pergi ke sana lagi untuk melakukan operasi. Ia membongkar peti mati. Begitu peti mati terbongkar, tampaklah kerangka manusia.
"Rasanya seperti mengalami sendiri film-film horor," kata Jemek. Ia bergegas mengumpulkan barang-barang, seperti salib, tasbih, atau perhiasan. Bahkan pegangan peti pun disikatnya. Semua barang curian itu diperhitungkan sebagai barang antik dari Nederland.
Dengan mudah keesokan harinya Jemek menjualnya pada sindikat penampungan barang-barang antik yang berasal dari kuburan. Lama ia melakukan pekerjaan horor itu. "Teman saya, sesama pencuri, banyak yang jatuh sakit. Katanya, roh-roh marah pada mereka. Saya sendiri sehat-sehat saja," kata Jemek.
Ada lagi kisah, bagaimana Jemek memanfaatkan kuburan. Di kuburan tempat ia beroperasi ada sebuah makam. Kata orang, di makam itu disemayamkan seorang Belanda, bernama Tuan Joni. Makam Tuan Joni dianggap keramat dan bertuah.
Padahal, kata Jemek, sudah tiada lagi jasad Tuan Joni di dalamnya. Tiap malam Jumat Kliwon, ada seorang pengusaha Cina yang selalu berziarah ke makam itu. Diantar oleh Pak Darno, juru kunci makam, pengusaha kaya itu meletakkan sesajen yang disukai Tuan Joni semasa hidupnya. Maka di samping kemenyan dan bunga setaman ada juga buah-buahan, wiski dan cerutu.
Jemek melihat, setelah mengantar pengusaha itu pulang, Pak Darno mengambil lagi sesajen itu. Ia tak mau ketinggalan untuk menikmati rezeki. Maka setiap malam Jumat Kliwon, ia bersembunyi di atas pohon beringin, sebelum Pak Darno dan pengusaha itu datang.
Begitu Pak Darno mengantar pengusaha itu pulang, Jemek turun dari persembunyiannya, lalu meraup sesajen. Pak Darno heran bercampur takut, jangan-jangan ada makhluk halus yang mengambil sesajen itu.
Kejadian ini berlangsung sampai tiga kali. Ia curiga, pasti ada manusia yang mencuri sesajennya. Maka ia mencari ke sana ke mari, sampai ia menemukan Jemeklah malingnya. Pak Darno tak mempunyai alasan untuk marah pada Jemek. Sebab, kata Jemek, ia telah membohongi pengusaha itu.
Bagaimana mungkin orang bisa memberi sesajen pada Tuan Joni, padahal di makam itu sudah tiada jasadnya lagi? Akhirnya, tercapailah kompromi. Tiap kali ada sesajen untuk Tuan Joni, sesajen itu harus dibagi. Begitulah, tiap malam Jumat Kliwon, Jemek selalu mendapat jatahnya, kadang wiski, kadang cerutu, tanpa ia bersusah payah lagi dengan menjadi "hantu".
Dari makam Jemek tak hanya mendapat inspirasi untuk mencuri. Di sana ia sering terbawa untuk diam-diam berkontemplasi. Siang hari sambil terkantuk-kantuk ia mengamati patung malaikat. Rasanya patung itu diam, tapi indah.
Di sana juga ada patung Maria yang memangku jenazah Yesus. Jemek tidak tahu bahwa patung itu adalah Pieta. Namun ia merasa betapa patung itu penuh dengan penderitaan dan ketabahan, seperti yang dimaksudkan oleh Pieta yang menggambarkan penderitaan dan ketabahan Maria. Perasaan mendalam yang diperoleh dari patung di kerkop (makam) Belanda inilah yang kemudian memberi inspirasi bagi Jemek untuk menciptakan karyanya Jakarta-Jakarta.
Dalam karyanya itu Jemek menggambarkan dirinya bertukar peran dengan patung "Selamat Datang ke Jakarta", yang ada di Bundaran HI. Patung itu mengira, enaklah menjadi manusia karena bisa ke mana-mana, sebaliknya Jemek mengira, enaklah menjadi patung karena bisa tenteram dan tenang.
Karena itu Jemek menawarkan diri menjadi patung, dan patung itu mau menjadi manusia. Maka mengembaralah patung itu ke sudut-sudut Kota Jakarta. Ia hidup di suatu tempat, ternyata di sana ia ikut tergusur. Ia pergi ke Pasar Senen, ternyata di sana ia lari terbirit- birit, dikejar-kejar massa, karena dituduh pencopet. Ternyata jadi manusia itu tidak enak.
Sementara di Bundaran HI Jemek sebagai patung juga menderita. Ia kehujanan dan kepanasan, tiap saat, siang dan malam, ditimpa kebisingan. Kalau ada pesawat lewat, patung Jemek harus menundukkan diri berulang-ulang agar badannya tak hancur tersambar pesawat terbang.
Manusia diganggu nyamuk, patung diganggu pesawat. Akhirnya Jemek dan patung itu bertemu lagi, dan memutuskan untuk kembali seperti semula. Maka Jemek kembali menjadi manusia lagi, dan patung menjadi patung, namun ini terjadi dengan kesimpulan: menjadi manusia itu susah, menjadi patung juga susah.
MEMANG menjadi manusia itu susah. Itulah yang dialami Jemek, hampir sepanjang hidupnya sampai usianya yang ke lima puluh ini. Tapi katanya, susah atau tidak, ia sudah ditakdirkan menjadi manusia, karena itu ia harus menerimanya.
Dan justru karena menjadi manusia itu susah, maka janganlah manusia mempunyai target yang muluk-muluk. Maka demikianlah pendirian Jemek: Dalam hal moral, tak ingin ia bermimpi, bahwa ia bisa menjadi sangat baik; bahwa ia bisa mengurangi kejelekannya, itu sudah sangat lumayan.
Dalam hal ekonomi, asal ia bisa mencukupi hidupnya untuk hari ini saja, cukuplah itu sudah baginya. Pendirian hidup yang antitarget ini tentu tak bisa dilepaskan dari riwayat Jemek sendiri.
Kata Jemek Supardi, ia tak pernah tahu, mengapa ketika muda ia tiba-tiba terlempar ke dalam dunia yang gelap. Di sana terbukti ia mempunyai "bakat" mencopet, dan karena kelincahannya ia dijuluki Pardi Kampret. Kendati kecil, Pardi Kampret ini sangat disegani oleh teman-temannya yang tergabung dalam geng Lowo Ijo.
Maklum, Jemek yang seperti kampret memang licik dan lihai dalam mencopet. Ia mempraktikkan dengan andal segala teknik mencopet, seperti nguthil (menyikat barang atau makanan), njonthi (menempelkan badan ke korban, supaya temannya leluasa mencopet), dan ngemut leseh (mencopet dompet).
Pernah Jemek mencuri galundheng (roti goreng) di Pasar Bringharjo. Galundheng itu dibungkus dalam plastik. Tiap plastik berisi dua belas buah.
Menurut teknik nguthil, untuk tindakan itu ia seharusnya mengambil bungkusan plastik yang paling atas. Karena terburu nafsu, Jemek justru mengambil bungkusan yang paling bawah. Akibatnya, tumpukan galundheng runtuh menggelundung. Pemiliknya jadi tahu, lalu mengejar Jemek.
Karena kegesitannya, Jemek bisa menyelamatkan diri. Dalam bahasa para dauri (teman sepencopet) waktu itu, ia tidak jadi keakep (tertangkap). Namun tak senantiasa Jemek beruntung. Ia pernah keakep di Cirebon, malahan ia pernah mendekam di Polsek Ngupasan seminggu lamanya. "Reken-reken sambil istirahatlah," kenang Jemek tentang hari malangnya itu.
Jemek tidak hanya petualang dalam mencopet, tapi juga dalam perilaku lainnya. Pernah seorang gadis lugu, pelayan penjual jamu, hamil. Menurut pengakuannya, enam lelaki yang menghamilinya. Salah seorang dari mereka adalah Jemek.
Keenam lelaki itu mengakui perbuatannya. Hanya soalnya, siapa sekarang yang harus bertanggung jawab mengawininya. Jemek mengacungkan jarinya. Alasannya, hanya karena ia sok pahlawan. Kelima temannya setuju, lalu mengumpulkan uang Rp 75.000, termasuk untuk membereskan keresmian surat perkawinan.
Hari peresmian tiba. Jemek berpakaian biasa naik becak ke Kantor KUA, diantar seorang temannya, yang berjas rapi. Petugas mengira, pemuda yang berjas itu pengantin lelakinya. Ternyata bukan dia, tapi Jemek, yang justru tampak seperti pemuda berandal itu.
Setelah pemberesan perkawinan, Jemek langsung berpisah dari istrinya. Maklum, si istri tidak menuntut Jemek menjadi suaminya. Wanita itu hanya butuh bahwa ada lelaki yang secara sah menjadi bapak anaknya.
Ada lagi cerita, betapa Jemek benar licik seperti kampret. Di daerah operasinya ada seorang wanita penghibur, yang dikenal ulet dan kuat. Teman-teman Jemek mengajaknya berkencan, dan setelah itu mencoba menipunya agar mereka tidak membayar.
Ternyata mereka tidak berhasil, padahal mereka semua terkenal jago dalam menggratiskan diri terhadap wanita penghibur yang telah dikencaninya. Jemek penasaran, ia pasti bisa mengakali wanita itu.
Suatu malam, dibawanya wanita itu ke emperan sebuah sekolahan. Setelah mengencaninya, Jemek tidak langsung membayar. Ia bilang, mau membersihkan diri di sumur terlebih dahulu. Wanita itu ternyata tidak melepaskannya.
Sementara Jemek menimba air, wanita itu merangkulnya kencang-kencang, takut Jemek lari darinya. Jemek tidak kehilangan akal. Ember timba belum sampai ke atas, ia bilang, "Sebentar, saya mau menyingsingkan celana saya," katanya.
Si wanita terpaksa memegangi tali timba, dan dengan demikian lepaslah rangkulannya. Jemek tidak menaikkan celananya, tapi terus melambaikan tangannya sambil bilang, "Wis ya (Sudah ya)."
Karena takut ketahuan orang atau penjaga sekolahan, wanita itu tidak berani berteriak. Sementara bila tali timba dilepas, di dasar sumur akan timbul suara berdebum keras. Dan orang akan ribut karenanya. Maka dengan hati geram, ia terpaksa terus menimba, sambil melihat Jemek pergi meninggalkannya. Jemek betul-betul Kampret.
JEMEK tak tahu, kapan petualangannya akan berhenti. Syukur, ketika ia berusia dua puluh lima tahun, ia mulai berkenalan dengan dunia seni. Ia mulai tertarik pada tokoh-tokoh Bengkel Teater Yogyakarta pada waktu itu, seperti Adi Kurdi, Suharno, dan Ketib Suratmo.
Ia juga berkenalan dengan orang- orang dari Teater Alam. Teman-teman teater menilai, Jemek mempunyai bakat seni. Jemek sendiri sebenarnya pernah mencoba merintis bakatnya itu. Setelah tamat SMP, ia masuk ke SSRI. Tapi di sekolah seni itu ia hanya bertahan dua bulan.
Bakat pantomimnya mulai ditemukan, ketika ia ikut dalam pementasan Maling Kundang. Waktu itu ia hanya menjadi figuran yang memerankan gerak-gerak air. "Saya benar menikmati jadi air. Dari sana saya mengerti filsafat air. Hidup ini memang harus seperti air, cair, lincah, mengalir ke mana ia diperlukan," kata Jemek.
Syukur Jemek berjumpa dengan kesenian. Katanya, kesenianlah yang menyelamatkan hidupnya. "Tapi itu tidak berarti bahwa dengan berkesenian saya bisa sembuh total dari kejelekan saya. Tidak, sampai sekarang pun saya merasa tidak bisa sembuh total. Saya sudah puas, bila saya bisa mengurangi kejelekan saya, betapapun sedikitnya," tutur Jemek realistis.
Menurut Jemek, manusia tak mungkin bisa disembuhkan total dari kejelekannya, karena dalam lubuk hatinya yang terdalam, manusia ini memang jahat, kotor, dan tidak jujur. Situasi real manusia inilah yang pernah ia pentaskan dalam karyanya Arwah Pak Samun.
Karya pantomim itu bercerita tentang Pak Samun, seorang buruh perkebunan, yang bekerja pada seorang tuan tanah Belanda. Pak Samun benar-benar hamba yang tekun dan jujur. Karena itu oleh tuannya ia diangkat menjadi mandor di perkebunannya.
Setelah hidupnya enak, ternyata Pak Samun menjadi tamak dan jahat. Ia serakah akan tanah, serta tega memeras bawahannya. Dan karena ia haus kenikmatan, ia pun terjerumus ke dalam cacat Jawa, yang biasa disebut ma lima (main judi, madat, maling, mabuk, dan main perempuan).
Begitu menjadi enak dan mapan, Pak Samun ternyata dijajah oleh nafsunya sendiri. Akhirnya ia terpelanting dari hidupnya yang enak dan nikmat tadi, terlunta-lunta dan mati di bawah jembatan.
Jemek memeras kisah Pak Samun dalam kesimpulan, "Kebaikan dan kejujuran itu ternyata tidak pernah bebas dari pamrih. Pak Samun jujur dan baik, karena ia ingin memiliki posisi. Kejujuran dan kebaikannya ternyata pura- pura belaka. Setelah posisi diraihnya, kejujuran dan kebaikannya pun sirna. Tampaknya bila manusia terbebas dari pamrihnya, baru ia bisa menjadi baik dan jujur sepenuh-penuhnya. Tapi kapan manusia bisa bebas dari pamrihnya?"
Jemek sendiri mengakui, masa lalunya adalah jelek dan kelam. Tak mungkin ia bisa membebaskan diri seluruhnya dari kejelekan dan kekelaman itu. Maka Jemek menerima, jika kejelekan dan kekelaman itu tetap membayang-bayangi hidupnya.
Menurut Jemek, itulah sesungguhnya yang disebut karma. Karena keyakinannya itu dengan mudah Jemek melihat, penderitaan dan beban yang kini dia alami sebagai semacam karma yang harus ia tanggung karena kesalahan masa lalunya.
Memang sampai sekarang Jemek seakan selalu dicobai dengan berbagai kesulitan dan kepedihan. Treda, istrinya, sangat mencintainya. Namun karena kemalangan yang menimpa keluarganya, Treda mengalami gangguan psikis dan mental.
Bila kumat, Treda bertindak aneh- aneh, seperti layaknya orang yang terjerumus ke dalam depresi berat. Syukurlah di saat sehat, Treda yang pelukis itu bisa berkarya dengan normal. Jemek maupun Treda lebih bersyukur lagi, karena mereka dianugerahi seorang putri yang sehat. Anak mereka itu kini menjadi gadis yang cantik dan tabah. Ia menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.
Kadang lukisan Treda laku. Kadang dari pentas pantomimnya, Jemek mendapat honorarium ala kadarnya. Dengan rezeki yang hanya kadang-kadang itu, Jemek mempertahankan hidup keluarganya. Jelas, rezeki macam ini tidak cukup untuk bisa dijadikan jaminan bagi kelangsungan ekonomi keluarganya.
Tapi darimana lagi ia bisa mengharap datangnya rezeki? Jemek tak berkhayal. Ia menerima kesulitan ekonomis itu sebagai bagian hidupnya. Karena itu ia mempunyai pedoman sederhana: Tak usah berpikir bagaimana besok, asal hari ini ada yang dimakan, cukuplah.
Buat Jemek, setiap jam adalah kesempatan. Maksudnya, sebelum jam dua belas malam lewat, berarti masih ada kemungkinan ia akan mendapat uang. "Saya merasa sudah tenang, bila sebelum jam dua belas malam, saya mendapat uang, meski hanya lima ribu rupiah. Artinya, dengan uang itu saya masih bisa melanjutkan hidup keluarga saya sehari lagi," kata Jemek.
Spekulasi Jemek itu terbukti misalnya pada peristiwa akhir Maret lalu. Pagi hari ia buru-buru pergi ke Magelang. Di sana ia berpentas, ternyata usai pentas, ia hanya diberi sebuah buku. Lalu ia pulang ke Yogyakarta, dan pergi ke sudut kota, untuk pentas lagi.
Ternyata ia hanya diapresiasi dengan ucapan terima kasih. Jam sepuluh malam ia sampai di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta, di mana Ketoprak Ndheprok Ting Ting Hik sedang mementaskan lakon Wonk Ciak Wonk alias manusia makan manusia. Jemek diajak untuk memantomimkan secara spontan adegan manusia makan manusia itu. Ia tidak mengira, akhirnya malam itu ia menerima honorarium juga. "Benar kan, sebelum jam dua belas malam berlalu, rezeki bisa datang selalu," katanya.
Ada saja cara Jemek memperoleh uang. Yang paling sering dengan ikut berjudi kecil-kecilan. Jemek mengaku, sejak muda ia suka berjudi. Sekarang cacat itu belum hilang sama sekali. Ia masih suka berjudi kecil-kecilan dengan main domino, sam-gong, atau cliwik.
Sering ia juga bermain togel, toto gelap. Ia juga membantu seseorang untuk menggadaikan barangnya lalu membayar bunga pada seorang penjudi, karena orang tersebut membutuhkan modal untuk berjudi. Jemek memperoleh uang jasa bagi keperluan tersebut. Itulah yang dalam dunia judi disebut tumpang sari.
Jemek tahu, judi itu maksiat. Tapi justru dengan uang dari judi kecil-kecilan itu ia bisa melangsungkan hidupnya, paling tidak untuk besok pagi. "Buat saya, hidup ini adalah judi. Hidup ini adalah taruhan. Saya tidak tahu, apa yang akan terjadi. Dalam hidup ini saya hanya tahu, saya harus berani bertaruh," kata Jemek.
Di tengah kesempitan hidup semacam ini, Jemek tetap bertekun menjalankan kesenian. Padahal kesenian yang dijalankannya adalah pantomim, kesenian yang langka, tidak populer, serta tak menjamin rezeki. Karena ketekunan dan kesungguhannya itu pantaslah bila teman-teman seniman di Yogyakarta memperingati ulang tahunnya yang kelima puluh, awal bulan Maret lalu.
Sampai usianya yang kelima puluh ini, Jemek selalu berani berspekulasi seperti ini: bila ia naik kereta untuk berpentas di luar kota, Jakarta atau Bandung misalnya, ia tidak membawa uang, kecuali "uang tempel". Begitu ada kondektur memeriksa tiket, ia segera menyalaminya, dan menempelkan uang ke telapaknya.
Sering-sering hanya lima ribu rupiah. Walau dengan waswas, ternyata Jemek selalu dapat selamat sampai ke tujuan, lalu di sana main pantomim.
Jemek dan keseniannya memperlihatkan bahwa hidup ini bisa dijalankan dengan kreatif dan gembira, meski manusia selalu waswas, deg-degan serta tanpa jaminan apa-apa dalam menghadapinya. Jemek alias Pardi Kampret mungkin merasa, mungkin tidak, bahwa justru dalam kontradiksi itulah hidupnya sendiri telah menjadi seni. ***
Sindhunata Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Rabu, 11 Juli 2007

Mereka Mencari Perspektif Mo-Limo


YOGYAKARTA -- For Sale. Tulisan warna merah itu mencolok di bawah gambar kepala manusia tanpa rambut, hanya tersisa jambul yang menyembul kepala. Drawing di atas kertas koran karya pelukis Hendro Suseno ini menyita perhatian pengunjung. Mereka terpaku, mengamati tulisan yang menjadi latar belakang lukisan itu. Samar-samar berita koran itu terbaca. Indonesia Sukses, judulnya. Di sampingnya, ditempel gambar dua calon presiden, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Karya Hendro itu, satu di antara 30 karya seni yang dipamerkan 30 perupa di Bentara Budaya Yogyakarta, 21- 27 September 2004. Beberapa di antaranya karya perupa Joko Pekik, Ivan Sagito, Nyoman Masriadi, Entang Wiharso, Samuel Indratma, Yuswantoro Adi, Nasirun, Alex Luthfi, Bunga Jeruk, Noor Ibrahim, S. Teddy D., Yamyuti Dwi Iman, dan Arahmaiani. Pameran bertajuk 4 Sehat Mo-Limo Sempurna ini digelar untuk memperingati ulang tahun Bentara Budaya yang ke-22. Lalu apa hubungan karya bertajuk Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) ini dengan mo-limo? Menurut Hendro, mo-limo bukan sekadar mabuk, main, madat, madhon (main perempuan), dan maling. "Saya melihat mo-limo dalam konteks yang lebih besar. Tidak hanya dalam kultur agraris saja, tapi kultur kota. Konteks mo-limo sebagai kultur baru, harus didaur ulang. Jadi korupsi dan kejahatan lain di kalangan elite politik itu juga perbuatan mo-limo," kata Hendro. Bagi Hendro, tawaran beasiswa dalam program Indonesia Sukses yang disebarkan lewat surat kabar sangat mungkin merupakan program yang memiliki konflik kepentingan tinggi. Program yang mengeruk dana miliaran dari beberapa BUMN ini bisa menjadi mo-limo yang lebih besar, meskipun belum ada BUMN yang mengakui. "Ketika calon presiden itu kalah, apakah program itu akan tetap jalan? Bisa jadi program ini batal," ujar Hendro. Berbeda Seniman menangkap mo-limo dengan pandangan yang berbeda-beda. Sebagian masih menilai mo-limo identik dengan main perempuan. Lihatlah Sumpah Aku Ora Tau Madhon (sungguh aku tidak main perempuan). Lukisan cat minyak karya Sigit Santoso ini menggambarkan tubuh laki-laki yang wajahnya tertutup kaus yang sedang diangkat ke atas. Tubuh itu penuh bekas lipstick, dan kancing celana jinsnya sedikit terbuka. Sebuah kemunafikan. Semakin munafik akan semakin kelihatan kebusukannya. Sementara itu, Hermanu mengangkat Panca Mo. Wajah laki-laki yang otaknya penuh simbol mo-limo, kartu judi, gelas ciu, dan wanita telanjang. Maksudnya, nafsu datang dari nalar. Nafsu bisa vulgar dan terang-terangan, sementara nalar bisa lebih halus dan tersembunyi. Namun, nalar yang sudah terendam ciu (arak) hanya menghendaki perempuan. Keinginannya hanya bermain judi. Pande Ketut Taman lain lagi. Menurut dia, manusia yang kehilangan nalar akan menuruti naluri nafsunya sampai serupa binatang. Ia menggambarkan berupa laki-laki naik tikus dan tikusnya mengendarai celeng. Karya Kendaraan Menuju Kenikmatan itu menggambarkan kebusukan, kelicikan manusia karena dikendalikan kerakusan. Nafsu manusia seakan tidak cukup diwadahi mo-limo. Tragedi mo-limo tergambar sangat ekstrem dalam karya Alex Luthfi bertajuk Garuda Mo-Limo. Lukisan cat minyak di atas kanvas itu menggambarkan sosok manusia berwajah monster, raksasa mirip binatang. Seluruh tubuhnya berfungsi sebagai penikmat tercela. Ada garuda terjepit di selangkangan. Garuda yang seharusnya mengatur tindakan moral manusia itu tak berdaya. Salah satu sifat manusia, tidak menyerah pada misteri. Bambang Toko mewujudkannya dalam karya Ramalan Jitu. Di bagian atas komiknya itu bertulisan: Ramalan Asli Romo Sindhu. Komik itu menggambarkan ramalan dengan berbagai teka-teki misalnya: minum susu campur sirup, sayur lodeh pakai kecap, pemadat khianati menteri, mabuk pakai kebaya, dan sebagainya. Tulisan-tulisan itu dibarengi gambar yang maknanya juga masih teka-teki. Sementara itu, Yuswantoro Adi melihat fenomena mo-limo lewat kebiasaan anak sejak kecil. Misalnya main pengantin-pengantinan, main uang-uangan, dan suntik-suntikan. Bagi Yuswantoro, fenomena itu melukiskan kelekatan manusia yang sama sekali irasional dan tidak sadar. Demikian pula Nasirun dalam Manusiawi, menangkap hal yang sama dengan visual yang berbeda dengan Yuswantoro. Menurut Nasirun, sejauh ada manusia selalu ada mo-limo. Dalam kegelapan selalu ada pantat, ada buah dada, dan ada paha. Di dalam kegelapan itu juga ada penis yang berdiri tegang kendati yang memiliki sudah tua. Mo-limo, menurut Nasirun, bagaikan kemudaan yang terus ada dalam ketuaan. Sayangnya, hampir semua seniman melihat mo-limo sebatas makna harfiah. Tema pameran itu sendiri, menurut Sindhunata, sebuah plintiran. Sebuah ajakan untuk menatap kembali makna mo-limo. Jangan menerima begitu saja pandangan umum masyarakat tentang mo-limo ini. "Dengan demikian 4 Sehat Mo-Limo Sempurna merupakan tema yang tepat untuk mengajak kita mengkritik fenomena itu dalam wacana moral," kata Sindhunata. Lebih lanjut, menurut dia, wacana itu bukan untuk membenarkan atau menyalahkan tetapi untuk melihat apakah moral yang digembar-gemborkan itu masih efektif. Dan sebuah kutang tergantung di leher, juga celana dalam perempuan. Tak ketinggalan pula kondom, botol minuman keras dan kartu domino, menggantung di depan dada. Pantomimer Jemek Supardi mengekspresikannya lewat gerak bisu. Pelawak Marwoto Kawer memangkas habis rambut Jemek. Tanda dibukanya pameran. ln idayanie/syaiful amin

Pantomim Belum Mati

Happening art merupakan seni pantomim yang banyak ditemui masyarakat, baik saat peluncuran produk maupun aksi unjukrasa. Seni pantomim tidak prospektif. Inilah 'dalih' yang selalu mengemuka, tatkala ditanyakan mengapa pada era 2000-an, pantomin seolah tertidur lelap. Padahal satu dasa warsa sebelumnya, terjadi booming pantomim.
Pantomim, tetap hidup. Di televisi, misalnya, kita sering menyaksikan paket-paket acara ini. Kemudian pertunjukan happening art dari beberapa perusahaan yang tengah menyelenggarakan suatu acara. Seniman-seniman pantomim baik dari mahasiswa-mahasiswa seni, orang-orang teater sampai yang sudah kondang seperti, Jemek Supardi, Septian Dwi Cahyo dan Muhiyanto, mengisi acara ini.
Happening art juga ikut mewarnai sejumlah aksi unjukrasa mahasiswa. Belakangan, pantomim ikut mendukung kampanye publik. Misalnya kampanye publik penggunaan sabuk keselamatan.
Sebenarnya, kegiatan mendekatkan seni pantomim dari khalayak, telah dilakukan sejak lama. Sejak 1980-an, sebuah kelompok teater pantomim Sena Didi Mime (SDM) yang dipimpin aktor Didi Petet. memperagakan seni pantomim dan happening art langsung di tengah khalayak. Mereka memperagakan adegan yang mengundang perhatian orang di pasar, jalan-jalan dan pusat-pusat keramaian lain. Cara ini, menurut pengurus SDM, Yayu Aw Unru, memang terlihat gila. Bayangkan saja, di tengah pasar ada orang dengan topeng dan pakaian aneh memperagakan gerakan-gerakan pantomim.
Format berkesenian itu memang disengaja. Selama ini orang mengenal seni pertunjukan selalu menempatkan penonton di bawah panggung, dan pertunjukan seni di atas panggung. Seni menjadi terpisah dan bejarak dengan khalayak. ''Ini yang harus didobrak,'' tegas Yuyu, seorang seniman pantomim.
Sejumlah perusahaan yang melibatkan seniman pantomim dalam pengenalan produk, memang memiliki dua alasan sekaligus. Perusahaan itu berniat memperkenalkan seni pertunjukan pantomim itu ke khalayak. Pada saat yang sama dengan penampilan seni pantomim bisa dhilangkan jarak atau batas kepada khalayak saat mereka mempromosikan suatu produk. Mereka menilai peran para seniman itu cukup efektif untuk ikut mempromosikan produknya.
Apapun alasannya, bagi seorang seniman pantomim senior seperti Jemek, perkembangan pantomim memang menggembirakan. Seni pantomim telah mendapat tempat di masyarakat. Hal ini tampak dari makin banyaknya pementasan-pementasan walaupun hanya sekedar sebagai happening art.
Bagi Jemek Supardi, seni pantomim itu suatu seni yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat. ''Kekonyolan-kekonyolan yang diolah secara imaji-kreatif itulah yang mendekatkan pantomim dengan masyarakat,'' paparnya. Karena pada dasarnya seni pantomim itu kekonyolannya diciptakan dengan proses imaji-kreatif.
Karena merasa seni pantomim itu tetap eksis, hal itul pulalah yang membuat kelompok teater SDM menggelar pementasan di Gedung Kesenian Jakarta pada 23-24 April 2004 lalu sekaligus menandai kiprah kelompok teater pantomim SDM, yang pada 14 April lalu memasuki usia ke-17. Pementasan pantomim karya terbaru kelompok ini, mengangkat persoalan demokratisasi bertajuk Kaki Kaki Tangan. Pentas kali ini digarap dua sutradara sekaligus, yakni Yuyu Aw dan Didi Petet Dalam pementasan SDM kali ini hanya melibatkan pemain sekitar 10 orang, lain dari biasanya yang bisa mencapai 100 pemain. ''Kali ini kita mentas dengan sedikit pemain. Ada kejadian ketika Soledad akan dipentaskan keliling Eropa, ada beberapa teman yang tidak bisa ikut. Dan kita cuma main dengan sedikit orang,'' ujar Yuyu Aw Unru.
Pementasan yang disponsori oleh Uni Eropa dan United Nation Development Program (UNDP) menawarkan tafsir penerapan demokrasi yang asli sebagai solusi dari kondisi masyarakat saat ini yaitu ketidaksehatan di bidang hukum dan ekonomi. Para seniman SDM membuat interpretasi artistik terhadap demokrasi. Indonesia selayaknya mempelajari pelaksanaan demokrasi di Eropa. Sebab, demokrasi yang sesungguhnya terletak pada pemenuhan hak dan kesadaran untuk menjalankan kewajiban.
Penggambaran umum mengenai makna demokrasi, diilustrasikan dengan mengusung bongkahan-bongkahan karet-karet ban dalam ke atas panggung. Sejumlah pemain berwajah boneka dengan menggunakan kostum warna cokelat muda, tampak melakukan gerakan-gerakan 'pembobolan dinding' secara seksama dan bertenaga. Masing-masing pemain mengendong tubuh-tubuh manusia telanjang tanpa busana. Boneka-boneka warna orange tersebut terbuat dari bahan ringan Didi Petet mengemukakan, sajian pantomim tidak selalu kritik sosial sehingga simbol yang ada jangan selalu diidentikkan dengan politik yang sedang aktual. ''Waktu kami pentas Cerita tentang Pelangi, cerita ini diidentikkan dengan kritik sosial karena terlalu banyak simbol politik di masyarakat kita,'' ujarnya.
Menurut Yuyu, pementasan pantomim ini tidak dikerjakan berdasarkan naskah, melainkan langsung dipraktikkan. Bentuk pertunjukan didasarkan pada sketsa. Benang merah pertunjukan akan terlihat dari sketsa tersebut. Vokal dan dialog akan dikemas mirip seperti irama daripada kata-kata.
Sejumlah seniman 'jebolan' SDM dan pekerja seni dan film lainnya, turut hadir dan memberi komentarnya tentang eksistensi kelompok pantomim ini. Diantara mereka adalah H Subarkah, Farid, Dik Doank, Mathias Muchus, Eeng Saptahadi dan lain-lain. Menurut Subarkah, tak sedikit aktor sinetron dan film yang sempat 'berlatih' di SDM.
''SDM boleh dibilang adalah kumpulan tempat para aktor. Kehadirannya, sangat mengguncang perhatian karena konsep mereka tidak umum sebagai grup pantomim,'' kata H Subarkah, pemain sinetron yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta ini.
Yang unik dan tidak lazim, grup ini pernah mendatangkan lebih dari 20 bahkan mencapai 90-an personel untuk sekali main. ''Padahal, di luar negeri saja hanya ada grup pantomim dengan jumlah pemain maksimal 7 orang,'' jelas Subarkah menambahkan.
Mengenai keberadaan seni pantomim, Didi Petet berujar bahwa pertunjukan pantomim tergolong memang langka tapi tidak akan pernah mati karena seni ini selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. ''Seni pantomim tetap menarik untuk dinikmati dari berbagai sisi termasuk sisi kejenakaannya. Kritik sosial tidak selalu menjadi tema inti dalam pertunjukan pantomim. Tetapi bentuk kesenian ini lebih mengutamakan ekspresi perasaan manusia. Mulai dari rasa sedih, gembira dan kelucuan.'' (rusdy nurdiansyah )

Jemek Siap "Harakiri"

Seniman pantomim Jemek Supardi menyiapkan pertunjukan
bertema Harakiri yang akan dipentaskan di Jogyakarta dalam waktu dekat ini. Jemek yang telah menghasilkan 30 karya pantomim sejak 1981 itu mengatakan, Harakiri merupakan fenomena unik dari negara asalnya, Jepang.
Harakiri di Jepang berbeda dengan peristiwa bunuh diri di Indonesia. Bila di Jepang, harakiri
dilatarbelakangi alasan kehormatan. "Sedangkan bunuh diri di Indonesia biasanya hanya karena masalah yang tidak begitu besar, seperti tekanan ekonomi," kata pria kelahiran 14 Maret 1953 ini.
Pertunjukan itu akan menambah koleksi karya bertema kritik sosial yang pernah dibuatnya.
Selain Harakiri, seniman yang mengawali karir lewat pentas berjudul Jakarta-Jakarta 1981 itu
mempersiapkan tiga repertoar lain dalam pertunjukan yang diperkirakan berdurasi 90 menit.
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, karya kali ini tidak akan mengeksplorasi gerakan berpindah tempat namun lebih menonjolkan gerakan kecil di tempat dan ekspresi wajah.
Karena belum pernah dilakukan, Jemek yang menganggap konsistensi sebagai pegangan hidup
seorang seniman ini mengatakan, tak memiliki bayangan bagaimana hasilnya nanti.
"Sekarang persiapannya sudah 50 persen, gerakannya masih terus dievaluasi teman-teman," kata pria yang pernah "pentas" di makam ini.(Ntr)

Kekonyolan dan Dagelan itu Beda'



Sukses teater Sena Didi Mime (SDM) pimpinan aktor Didi Petet yang menggelar pementasan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 23-24 April 2004, menggambarkan pantomim masih diminati publik. Belum banyak, memang, seniman yang mendalaminya. Dari sekian banyak pementasan pantomim yang diadakan hanya sedikit nama yang tercatat menekuni seni ini secara konsisten. Makanya, seniman pantomin juga tergolong sedikit. Nama-nama tenar selain Didi Petet, adalah Yuyu Aw Unru, Septian Dwi Cahyo dan Muhiyanto serta Jemek Supardi.
Dari sedikit seniman pantomim tersebut, yang mengabdikan kesenimannya secara serius pada dunia ini mungkin hanya Jemek Supardi. Pergulatan sekaligus pilihan hidup Jemek Supardi, seolah hanya tercurah pada proses kreatif, teristimewa pada seni pantomim. Jemek bukan seorang yang memiliki kemampuan menjalin kata-kata secara verbal. Namun demikian, ia mahir mengejawantahkan sebuah lakon kehidupan manusia dalam bahasa gerak dan tubuh yang dikenal sebagai pantomim.
Bahkan dalam dunia pantomim yang miskin aktor ini, Jemek berjalan tiada henti. Ia terus berkarya, lengkap dengan sensasi-sensasi yang melengkapi perjalanan berkesenian. Pertunjukannya tidak hanya dilakukan di dalam panggung yang berkesan formal, namun juga di jalanan, kuburan, bahkan dalam kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta. ''Bisa saya cuma pantomim. Saya harus setia menjaganya dengan cara terus berpentas. Kapan saja, di mana saja, siapa saja,'' tuturnya. Walaupun usianya sudah mencapai 51 tahun, dia masih piawai merangkai kekonyolan-kekonyolan imaji-kreatifnya.


Sebagai sosok seniman yang memilih dunia pantomim sebagai ruang berproses kreatif, Jemek telah menunjukkan konsistensinya. Setidaknya ia telah mengarungi pergulatan cukup panjang atas dunia pantomim, sejak tahun 1980-an hingga sekarang ini.
Jemek pun menyambut gembira mengenai seni pantomim yang saat ini mendapat tempat di masyarakat dengan banyaknya pementasan-pementasan walaupun hanya sekedar sebagai happening art. Baginya seni pantomim itu suatu seni yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat dengan kekonyolan-kekonyolan yang diolah secara kreatif tapi tidak terjebak dengan melakukan gerak-gerak melucu.
''Pada dasarnya seni pantomim itu kekonyolannya diciptakan dengan proses kreatif bukan terjebak melakukan gerak-gerak melucu, bahkan membanyol. Penonton tentu saja tertawa, tapi maksud yang hendak dicapai tidaklah mengena,'' ujarnya Jemek.
Jemek maklum bila selama ini ada opini bahwa seni pantomim identik dengan gerak-gerak lucu. Menurut Jemek, opini itu keliru. ''Bukan kelucuan yang jadi esensi pantomim. Pantomim tetap membawa misi tertentu. Kalau ada banyolan atau gerak-gerak komedis, itu lebih bersifat sebagai pendukung keseluruhan gerak,'' jelas seniman pantomim asal Yogyakarta ini.


Hal tersebut ditunjukan Jemek takkala ia mengusung repertoarnya yang bertajuk Dokter Bedah. Pada repertoar ini, rangkaian kekonyolan yang dikembangkan, benar-benar mencapai tataran yang sungguh-sungguh konyol. Bagi Jemek, puncak imaji-kreatif itu terbangun dengan kekonyolan penuh makna ''Kekonyolan dengan dagelan itu lain,'' kata Jemek.

Jemek Supardi delivers message with motion


After his successful show in Yogyakarta and the Central Java town of Surakarta last week, pantomime artist Jemek Supardi will display his skills at Bentara Budaya Jakarta this Friday.
For his Jakarta show, the artist, who is touring three cities to mark his 50th birthday, will present several pieces, Halusinasi Pelukis (Painter's Hallucination), Jakarta-Jakarta, Dokter Bedah (Surgeon) and Tukang Cukur (Barber).
As part of the show, the Yogyakartan artist, who started his pantomime career in 1976, will bring with him two young pantomime artists, Broto and Ashita.
The pieces to be staged here center mostly on social themes, a reflection of Jemek's own experiences and those of other, poor people within society.
Still, the problems, as portrayed in Jakarta-Jakarta, Tukang Cukur and Dokter Bedah, show the sorrow in an amusing way.

Jakarta-Jakarta, for instance, portrays a newcomer to the capital city who finds it hard to adjust to a metropolitan way of life. He ends up stranded on Hotel Indonesia traffic circle, falling asleep right there. In his dream, the statue on top of the traffic circle fountain comes to life, trying to become human. The statue-human reflects the newcomer himself, trying to survive in the jungle that is Jakarta. Facing a tough and inhumane struggle, the statue-human gives up, wanting to become a statue once again.
Dokter Bedah highlights a commercial aspect of the country's medical world, where patients are left in a weak position. The story centers on a patient waiting his turn to be examined by a doctor. When the patient is examined, the doctor finds strange things inside the patient's stomach and also a problem with the patient's genitals, which requires surgery. Without hesitation, the doctor replaces the patient's vital organ with a dog's.

Jakarta-Jakarta and Dokter Bedah are wonderfully played by Broto and Ashita. With special stage equipment that uses shadow puppet show techniques, the two pieces become lively. At times, the artists perform in front of the screen while at others, they perform behind it, leaving the audience to see their shadows.
Jemek performs in Halusinasi Pelukis and Tukang Cukur.
Although at his age Jemek might be not as strong as the young artists, he still displays his talent as one of the country's great pantomime artists.

Jemek Supardi Pernah "Diglandang" Satpam


Pantomimer Jemek Supardi diglandang Satpam Benteng Vredeburg, Supomo, ketika menyaksikan Pasar Seni Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) IX -1997 di Kompleks Museum Benteng Vredeburg, kemarin (21/6) sore. Ia dibawa Supomo menuju Sekretariat Panitia Pasar Seni untuk dimintai keterangan.
Jemek memang bukan hanya penonton Pasar Seni biasa. Sambil melihat-lihat stand seni dan kerajinan di Pasar Seni itu, Ayah dari Kinanti Sekar Rahina (8) itu bermain pantomim. Lakon yang dimainkan berjudul Pak Jemek Pamit Pensiun. Alhasil, Jemek mendapat perhatian yang luar biasa dari pengunjung Pasar Seni dan juga para penjaga stand. Jemek memang tidak hanya melihat-lihat, tetapi juga membeli barang yang dia mau, misalnya saja sebuah asbak yang dia beli dengan harga Rp.3.000,00,-.
Yang menarik, sebagaimana pantomimer beraksi, Jemek berkomunikasi dengan bahasa gerak tubuh. Misalnya, bagaimana dia mengomentari barang-barang yang dia lihat, menawar barang dan membelinya. Sepanjang pertunjukan yang dimulai sejak membayar becak di halaman depan Benteng Vredeburg pukul 16.30 WIB, Jemek membagi-bagi bunga sedap malam dan leflet yang berisi informasi pentas Pak Jemek Pamit Pensiun.
Maka, orang-orang pun tertawa menyaksikan jemek berpantomim. Seorang ibu penjual Coke di Warung Makan Ikaisyo pun tertawa sendiri ketika terpancing Jemek untuk ikut berpantomim lantaran harus memberi uang kembalian sebanyak Rp 300,00. "Lho saya kok jadi ikut pantomim," katanya sembari tertawa.
Begitulah, setiap gerak Jemek tak lepas dari perhatian pengunjung. Dan ke mana Jemek berjalan melihat-lihat stand, menawar barang, atau duduk-duduk istirahat, selalu diikuti penonton Pasar Seni. Inilah rupanya yang membuat Satpam Supomo tergerak untuk mendekati Jemek.
"Mari ikut saya," katanya kepada Jemek.
Sadar bahwa Jemek tidak berbicara, sang Satpam pun mencekal tangan Jemek dengan paksa. Lalu membawanya ke Sekretariat Panitia yang jaraknya hanya sekitar 25 meter.
"Dia mengadakan pertunjukan di sini belum belum ada izin. Dan saya lihat, perhatian para pengungjung Pasar Seni terfokus kepadanya. Kami hanya ingin semua dapat berjalan," ujar Supomo kepada Bernas.
Di Sekretariat, Jemek diterima Ketua Seksi Pasar Seni Drs Mahyar. Terjadilah dialog antara Mahyar dan Jemek Supardi. Sebagai sesama seniman Mahyar memahami apa yang dilakukan Jemek. Tetapi sebagai panitia, ia terpaksa mengingatkan agar tidak menganggu kelancaran Pasar Seni.
Karena itu, Jemek dimohon agar memperhatikan tata tertib Pasar Seni, termasuk keamanan Pasar Seni. "Saya selaku pengelola merasa berat sekali. Di satu sisi, bagaimana saya bisa menghimpun peserta yang banyak dan bagaimana para peserta agar dapat memperoleh hasil uang yang banyak," katanya.
TerkejutPentas Pak Jemek Pamit Pensiun mendapat perhatian yang besar dari masyarakat, termasuk Azwar AN. Azwar datang lantaran terkejut dengan niat Jemek Supardi yang ingin pensiun sebagai pantomimer setelah berprofesi selama 20 tahun. "Tidak boleh itu. Tidak boleh pensiun. Sekarang ini hanya tinggal Jemek yang berpantomim," kata Azwar kepada Bernas.
Agaknya banyak yang salah pengertian dengan maksud Jemek, termasuk Azwar AZ. Menurut Jemek, sebetulnya dia bukannya mau pamit pensiun. Itu hanyalah lakon dari pentas yang dia mainkan. "Tidak. Banyak yang keliru. Saya belum pensiun. Saya masih mampu kok," katanya kepada Bernas, seusai pentas.
Tetapi leflet pentas Pak Jemek Pamit Pensiun memang mengarah ke situ. Misalnya, Jemek menulis, "Bagi saya, ini keputusan yang menyedihkan. Namun, saya merasa tak ada jalan lain, kecuali menyatakan bahwa saya mau pamit pensiun dari dunia pantomim yang selama ini saya geluti."
Yang sebenarnya, pentas yang juga akan dia mainkan pada tanggal 26, 27, dan 28 Juni di Halaman Purna Budaya itu merupakan ungkapan protes Jemek sebagai seniman pantomim kepada Panitia FKY karena seni Pantomim belum mendapat tempat seperti yang dia harapkan.
"Ini harus mendapat perhatian dari Dewan Kesenian. Protes seorang anak harus diperhatikan," kata Azwar setelah mendapat penjelasan dari Jemek. Dan dia berjanji akan membawa masalah itu kepada Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta Fred Wibowo. (sam)

Berkesenian Tanpa Pretensi


PADA usia 50 tahun, kata Jemek Supardi, ia sudah harus memantapkan pilihan untuk terus menekuni pantomim. Sebuah seni yang setidaknya di Indonesia sangat kesepian. Tidak seorang peziarah pun yang bersetia untuk singgah lalu sekadar mereguk dan menikmati keindahan gerakannya.
TETAPI, Jemek sejak awal tahun 1980-an terus berjalan hingga ia menemukan ungkapan yang pas untuk merumuskan pertemuannya dengan kesenian, "Sudah pantang untuk surut," kata Jemek yang membotaki separuh kepalanya itu. Ia memang tak jemu menjahili dirinya.
Sejak ia menjadi penghuni kuburan pada usia belasan tahun sampai Jumat (4/4) malam ketika ia mementaskan karya-karya retrospeksi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jemek tetap seseorang pengelana yang berjalan dari sunyi ke sunyi. Meski ia melumuri sekujur tubuhnya dengan tinta warna emas pada bagian akhir pentas, ia tetaplah Jemek yang dulu "bajingan" dan tak malu menjalani laku menderita. (Mungkin, warna emas itu dihubung-hubungkan dengan usianya 50 tahun itu).
Cobalah tengok pada karyanya yang berjudul Dokter Bedah (1981) yang dimainkan oleh Broto dan Ashita, bagaimana Jemek dengan lugas mengkritik perilaku ceroboh seorang dokter yang meninggalkan berbagai benda di dalam perut pasiennya. Ia bahkan tak henti, lagi-lagi menjahili para dokter dengan menukar kemaluan pasiennya dengan kemaluan seorang anjing. Dan karena itu kemudian cara kencingnya pun mirip-mirip anjing.
"Coba, dulu yang tertinggal di perut cuma berbagai peralatan operasi, sekarang karena dokter mengoperasi sembari menelepon bisa-bisa HP juga tertinggal di perut pasien..." kata Jemek Supardi terkekeh-kekeh.
Dua "murid" Jemek, Broto dan Ashita, kendati telah cukup mampu menerjemahkan cerita menjadi bahasa gerak tetapi mereka tetap saja belum bisa menyamai gurunya. Dalam setiap penampilannya, Jemek nyaris-nyaris tak berjarak dengan kisah yang ia tuturkan.
Barangkali, itulah bedanya antara seseorang yang melakoni dengan mereka yang memainkan. "Dulu saya selalu memainkan karya ini sendirian, maka jadi berat sekali," tutur Jemek.
Pada kisah Tukang Cukur (1984) misalnya, Jemek memulai karya ini ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa sejak awal tahun 1980-an, sedang menjadi mode anak-anak muda berambut gondrong. Di sisi lain salon-salon modern bermunculan di mana-mana.
"Saya berpikir bagaimana nasib para tukang cukur yang mangkal di bawah-bawah pohon di dekat pasar, " kata Jemek. Mungkin banyak yang kemudian mengira Jemek sedang menjadi juru bicara mereka yang terhempas karena arus modernisasi.
Pada satu sisi barangkali nyaris benar tetapi pada kebanyakan sisi Jemek malahan membuat plot cerita menjadi sangat absurd. Jelasnya ia "menjahati" para tukang cukur itu.
Secara lugas, karya itu memperlihatkan bagaimana tukang cukur membujuk seorang anak kecil dengan memberinya permen, hanya agar ia mau dicukur. Tetapi, ketika semua upaya itu gagal, maka para tukang cukur saling menyodorkan kepalanya untuk dicukur.
Sebuah alur cerita yang kalau dikorek-korek bisa saja sesungguhnya mengabarkan sesuatu yang getir. Seperti seorang pedagang kue, yang karena kuenya tidak laku maka daripada basi, baiknya dimakan sendiri. Mungkin ketika giginya memotong kue, sedikit demi sedikit, ibarat ia tengah memotong seluruh nasib baiknya hari ini.
MALAM itu juga dimainkan karya-karya Jemek yang lain seperti Halusinasi Seorang Pelukis (1986), Jakarta Jakarta (1981), dan Kesaksian (1997). Selain ide yang dipenuhi renungan disertai kenakalan, paling menarik dicatat dalam pementasan ini, pelibatan berbagai elemen teater untuk mendukung satu gagasan estetik.
Katakanlah, keterlibatan seniman seperti Bimo Wiwohatmo selaku sutradara, pelukis Hendro Suseno pengurus produksi, serta bintang tamu penari Lena Guslina, dan tak lupa penata musik Memet Chairul Slamet, membuat pementasan ini menjadi lebih bergerak.
Pergelaran pementasan untuk memperingati usia ke-50 tahun Jemek Supardi, bagi saya hanyalah sekadar alasan untuk berkreasi. Kelompok ini tidak sekadar memungut Jemek, yang menurut Seno Gumira Ajidarma hidup di terowongan yang lembab dan gelap. Tetapi, Jemek dihadirkan sekadar sebagai pemicu untuk melakukan terobosan estetik dan membuat pernyataan bahwa teater apa pun bentuknya adalah sebuah perayaan terhadap kemenangan kemanusiaan.
Pementasan Jemek yang biasa dilakukan dengan penuh kebersahajaan, kali ini tampil sebagai keutuhan yang bernas hingga ide-idenya tak hanya menjadi bahan lelucon. Jauh dari itu, Jemek Supardi dan kawan-kawan dari Yogyakarta, mengajak kita untuk menyadari betapa tidak mudahnya menjadi manusia (dalam Jakarta Jakarta), betapa kemashyuran bisa membuat seorang pelukis berfantasi tentang berbagai hal yang menyenangkan (dalam Halusinasi Seorang Pelukis), dan betapa absurdnya perilaku-perilaku yang mengagungkan profesi (coba simak Tukang Cukur dan Dokter Bedah).
Bahkan karena pengagungan terhadap profesi itu, sebuah kesalahan pun dianggap sebagai lelucon, tanpa memahami perasaan para "korbannya".
"Ini yang sekarang sering terjadi, teman memakan teman. Seperti dalam judi, coba, yang kita lawan teman sendiri, kalau menang berarti mengalahkan teman sendiri..." tutur Jemek. Pasti ia sedang mencoba berarif-arif. Karena pada suatu waktu, pastilah lelaki kerempeng ini bakal mengaku bahwa ia juga seorang penjudi yang "kecanduan".
Bagaimana seorang penjudi bisa mengajarkan tentang kebenaran moral? Bagaimana seorang gila (seperti pada banyak sastrawan) bisa memberikan kejernihan pikiran? Pertanyaan ini, bisa dijawab dengan pertanyaan lagi, apakah kesenian harus diposisikan sebagai sumber dari segala kebenaran? Wah, lebih baik mengucapkan selamat ulang tahun ke-50 saja buat Jemek, ia yang berkesenian tanpa pretensi.... (PUTU FAJAR ARCANA)

Kekonyolan Imaji-Kreatif Si Jemek Supardi


DARI sedikit seniman, anak negeri yang mengabdikan kesenimannya pada dunia pantomim adalah Jemek Supardi dari Yogyakarta. Pergulatan sekaligus pilihan hidupnya pun tercurah pada proses kreatif, teristimewa pada seni pantomim.
"Bisa saya cuma pantomim. Saya harus setia menjaganya dengan cara terus berpentas. Kapan saja, di mana saja, siapa saja," tuturnya. Walaupun usianya sudah mencapai 50 tahun, dia masih piawai merangkai kekonyolan-kekonyolan imaji-kreatifnya melalui repertoarnya berjudul Dokter Bedah.
Sebagai sosok seniman yang memilih dunia pantomim sebagai ruang berproses kreatif, Jemek telah menunjukkan konsistensinya. Setidaknya ia telah mengarungi pergulatan cukup panjang atas dunia pantomim, sejak tahun 1980-an hingga sekarang ini.
Tatkala Jemek Supardi dengan didampingi Asita mengusung repertoarnya, hari Jumat (29/5) malam, di Gedung Utama Balai Pemuda Surabaya, penonton pun sungguh terhibur dengan kenakalannya.
Rangkaian kekonyolan baru mencapai tataran yang sungguh-sungguh konyol, ketika dokter bedah (Asita) sedang mengoperasi pasiennya (Jemek Supardi). Dan, penonton pun dibuat terpingkal-pingkal atas ulah sang dokter yang hendak membedah perut pasiennya dengan gergaji.
Sebuah imaji-kreatif pun terbangun ketika telepon seluler (ponsel) sang dokter itu tertinggal di dalam perut sang pasien, karena kecerobohannya, sehabis bertelepon-ria sembarangan menaruh ponselnya ke dalam perut pasiennya.
Seusai operasi, si pasien itu pun keluar ruang praktik dokter bedah dengan penuh sukacita, karena merasa lebih segar dan sehat. Senyum kegembiraan itu terpancar dari mimiknya, sesekali ia pun mengekspresikannya dengan gerak-gerakan joging.
Dan, ketika suara dering ponsel itu terdengar, si dokter bedah itu pun kebingungan mencari ponsel miliknya. Sebaliknya, si pasien terkejut-kejut saat dering telepon seluler itu justru terdengar nyaring dari dalam perutnya.
Senyum kegembiraan pun berubah getir, kecut, dan pahit. Lalu, si pasien itu pun mendatangi kembali si dokter bedah dan operasi kedua pun dilakukannya, lagi-lagi kekonyolan itu pun mengguncang penonton.
Denting jam beker tiba-tiba berbunyi bersamaan dengan tangan dokter yang merogoh isi perut pasien, dan penonton pun terbahak-bahak ketika sang dokter menemukan jam beker dari dalam perut pasiennya. Tak berhenti pada kekonyolan itu, si dokter bedah itu pun mendapati dinamit di dalam perut.
Kekonyolan ini berlanjut ketika dokter bedah itu menjahit perut pasiennya tidak dengan benang, melainkan stapless. Gelak tawa penonton pun tak terbendung setiap menyaksikan kekonyolan yang satu ke kekonyolan yang lain.
Puncak imaji-kreatif itu terbangun penuh makna ketika dokter bedah itu mengganti alat kelamin pasiennya dengan alat kelamin anjing.
Ketika si pasien buang air kecil, suara anjing pun muncul. Lagi-lagi penonton pun terpingkal-pingkal menyaksikan kekonyolan itu. "Kekonyolan dengan dagelan itu lain," kata Jemek Supardi. (TIF)