Rabu, 11 Juli 2007

Mereka Mencari Perspektif Mo-Limo


YOGYAKARTA -- For Sale. Tulisan warna merah itu mencolok di bawah gambar kepala manusia tanpa rambut, hanya tersisa jambul yang menyembul kepala. Drawing di atas kertas koran karya pelukis Hendro Suseno ini menyita perhatian pengunjung. Mereka terpaku, mengamati tulisan yang menjadi latar belakang lukisan itu. Samar-samar berita koran itu terbaca. Indonesia Sukses, judulnya. Di sampingnya, ditempel gambar dua calon presiden, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Karya Hendro itu, satu di antara 30 karya seni yang dipamerkan 30 perupa di Bentara Budaya Yogyakarta, 21- 27 September 2004. Beberapa di antaranya karya perupa Joko Pekik, Ivan Sagito, Nyoman Masriadi, Entang Wiharso, Samuel Indratma, Yuswantoro Adi, Nasirun, Alex Luthfi, Bunga Jeruk, Noor Ibrahim, S. Teddy D., Yamyuti Dwi Iman, dan Arahmaiani. Pameran bertajuk 4 Sehat Mo-Limo Sempurna ini digelar untuk memperingati ulang tahun Bentara Budaya yang ke-22. Lalu apa hubungan karya bertajuk Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) ini dengan mo-limo? Menurut Hendro, mo-limo bukan sekadar mabuk, main, madat, madhon (main perempuan), dan maling. "Saya melihat mo-limo dalam konteks yang lebih besar. Tidak hanya dalam kultur agraris saja, tapi kultur kota. Konteks mo-limo sebagai kultur baru, harus didaur ulang. Jadi korupsi dan kejahatan lain di kalangan elite politik itu juga perbuatan mo-limo," kata Hendro. Bagi Hendro, tawaran beasiswa dalam program Indonesia Sukses yang disebarkan lewat surat kabar sangat mungkin merupakan program yang memiliki konflik kepentingan tinggi. Program yang mengeruk dana miliaran dari beberapa BUMN ini bisa menjadi mo-limo yang lebih besar, meskipun belum ada BUMN yang mengakui. "Ketika calon presiden itu kalah, apakah program itu akan tetap jalan? Bisa jadi program ini batal," ujar Hendro. Berbeda Seniman menangkap mo-limo dengan pandangan yang berbeda-beda. Sebagian masih menilai mo-limo identik dengan main perempuan. Lihatlah Sumpah Aku Ora Tau Madhon (sungguh aku tidak main perempuan). Lukisan cat minyak karya Sigit Santoso ini menggambarkan tubuh laki-laki yang wajahnya tertutup kaus yang sedang diangkat ke atas. Tubuh itu penuh bekas lipstick, dan kancing celana jinsnya sedikit terbuka. Sebuah kemunafikan. Semakin munafik akan semakin kelihatan kebusukannya. Sementara itu, Hermanu mengangkat Panca Mo. Wajah laki-laki yang otaknya penuh simbol mo-limo, kartu judi, gelas ciu, dan wanita telanjang. Maksudnya, nafsu datang dari nalar. Nafsu bisa vulgar dan terang-terangan, sementara nalar bisa lebih halus dan tersembunyi. Namun, nalar yang sudah terendam ciu (arak) hanya menghendaki perempuan. Keinginannya hanya bermain judi. Pande Ketut Taman lain lagi. Menurut dia, manusia yang kehilangan nalar akan menuruti naluri nafsunya sampai serupa binatang. Ia menggambarkan berupa laki-laki naik tikus dan tikusnya mengendarai celeng. Karya Kendaraan Menuju Kenikmatan itu menggambarkan kebusukan, kelicikan manusia karena dikendalikan kerakusan. Nafsu manusia seakan tidak cukup diwadahi mo-limo. Tragedi mo-limo tergambar sangat ekstrem dalam karya Alex Luthfi bertajuk Garuda Mo-Limo. Lukisan cat minyak di atas kanvas itu menggambarkan sosok manusia berwajah monster, raksasa mirip binatang. Seluruh tubuhnya berfungsi sebagai penikmat tercela. Ada garuda terjepit di selangkangan. Garuda yang seharusnya mengatur tindakan moral manusia itu tak berdaya. Salah satu sifat manusia, tidak menyerah pada misteri. Bambang Toko mewujudkannya dalam karya Ramalan Jitu. Di bagian atas komiknya itu bertulisan: Ramalan Asli Romo Sindhu. Komik itu menggambarkan ramalan dengan berbagai teka-teki misalnya: minum susu campur sirup, sayur lodeh pakai kecap, pemadat khianati menteri, mabuk pakai kebaya, dan sebagainya. Tulisan-tulisan itu dibarengi gambar yang maknanya juga masih teka-teki. Sementara itu, Yuswantoro Adi melihat fenomena mo-limo lewat kebiasaan anak sejak kecil. Misalnya main pengantin-pengantinan, main uang-uangan, dan suntik-suntikan. Bagi Yuswantoro, fenomena itu melukiskan kelekatan manusia yang sama sekali irasional dan tidak sadar. Demikian pula Nasirun dalam Manusiawi, menangkap hal yang sama dengan visual yang berbeda dengan Yuswantoro. Menurut Nasirun, sejauh ada manusia selalu ada mo-limo. Dalam kegelapan selalu ada pantat, ada buah dada, dan ada paha. Di dalam kegelapan itu juga ada penis yang berdiri tegang kendati yang memiliki sudah tua. Mo-limo, menurut Nasirun, bagaikan kemudaan yang terus ada dalam ketuaan. Sayangnya, hampir semua seniman melihat mo-limo sebatas makna harfiah. Tema pameran itu sendiri, menurut Sindhunata, sebuah plintiran. Sebuah ajakan untuk menatap kembali makna mo-limo. Jangan menerima begitu saja pandangan umum masyarakat tentang mo-limo ini. "Dengan demikian 4 Sehat Mo-Limo Sempurna merupakan tema yang tepat untuk mengajak kita mengkritik fenomena itu dalam wacana moral," kata Sindhunata. Lebih lanjut, menurut dia, wacana itu bukan untuk membenarkan atau menyalahkan tetapi untuk melihat apakah moral yang digembar-gemborkan itu masih efektif. Dan sebuah kutang tergantung di leher, juga celana dalam perempuan. Tak ketinggalan pula kondom, botol minuman keras dan kartu domino, menggantung di depan dada. Pantomimer Jemek Supardi mengekspresikannya lewat gerak bisu. Pelawak Marwoto Kawer memangkas habis rambut Jemek. Tanda dibukanya pameran. ln idayanie/syaiful amin

Tidak ada komentar: