Sabtu, 07 Februari 2009

Pantomim Kita bagai Api dalam Sekam


Beberapara tahun lalu, kampiun pantomim asal Yogyakarta, Jemek Supardi, menggelar karyanya bersama teman-temannya dari Mime Theater, di Bentara Budaya Jakarta. Pagelaran itu untuk menandai ulang tahun Jemek yang ke-50. Selebihnya, seni pantomim berdiri lunglai, sepi di lengkungan tanda tanya.

Jakarta, yang pernah menjadi barometer kehidupan seni di Tanah Air pada dekade 70-an, lewat Taman Ismail Marzuki-nya, seolah kerontang dari pantomim. Celakanya, ketika seorang teman penulis bermain pantomim, orang mengira ia badut sirkus. Padahal, seni pantomim boleh dikatakan menjadi dasar permainan teater, yang mengolah kelenturan tubuh dan kepiawaian ekspresi, mimik. Beruntung sekali Didi Petet masih mengopeni cabang seni ini, walau pun telah disenyawakan dengan seni teater. Apa boleh buat, dari pada tidak sama sekali. Didi Petet sendiri sempat lama absen dalam pagelaran besar seperti sekarang ini setelah beberapa tahun yang lampau berkeliling dengan grupnya ke kota-kota besar di Pulau Jawa. Untung masih ada Didi Petet yang telah memiliki nama besar.

Septian Dwi Cahyo, yang sejak duduk di bangku SD sudah memukau publik lewat pantomimnya di layar TVRI, malah absen lama sekali. Sena Utoyo telah mendahului kita beberapa tahun lampau. Tinggallah Jemek Supardi yang masih konsekuen di jalur pantomim hingga kini, jauh dari publikasi pers ibukota. Tokoh ini pernah nekat menggelar karyanya di kereta api, dalam perjalanan antara Yogyakarta-Jakarta pulang-pergi, pada bulan Mei 1998. Hingga kini Jemek masih menggulati pantomim sehingga Emha Ainun Nadjib, yang memberi sambutan pada pagelaran 50 tahun Jemek Supardi, menjulukinya: Putra terbaik dari bangsa besar yang tahun-tahun terakhir ini semakin menunjukkan kebesarannya di mata dunia (huruf tebal sesuai teks Emha, pen). Pujian ini punya makna ganda yang luas.

Sebenarnya Indonesia, khususnya publik Jakarta, pernah ‘beruntung’ dikunjungi oleh maestro pantomim dunia, yaitu Marcel Marceau asal Perancis, pada bulan Juni 1988. Selama dua hari, sang maestro itu menunjukkan kepiawaian pantomim tingkat tingginya dan yang meyakinkan publik bahwa ia memang pantas menyandang gelar itu. Marcel, yang di Indonesia di era 70-an dikenal lewat iklan sebuah film itu, membuka sekolah pantomim di Paris, tapi waktu itu ia menyesalkan kenapa belum ada seorang pun muridnya berasal dari Indonesia. Padahal, kepada penulis ia mengatakan, bahwa ia akan memberikan rabat khusus untuk murid asal Indonesia. Tapi ia mengakui, tingkat hidup di Paris amat mahal walaupun ia bisa membebaskan biaya sekolah itu, sedangkan sekolah ini betul-betul serius, bukan seperti halnya kursus-kursus.
Ketika ditanyakan, kenapa ia tidak membuat semacam workshop saja seperti yang dilakukan aktor pantomim asal Ceko yang bermukim di Paris, Milan Sladek, dengan para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (JJKJ) seperti sebelumnya, Marcel bilang, ia tidak cukup waktu untuk itu. Milan Sladek dua kali mengunjungi Jakarta dan mengadakan workshop dengan DCJ. Sebelumnya, publik Jakarta pernah disuguhi permainan Pradel atas undangan Centre Culturele Francais (CCF) seperti halnya Marcel.
Setelah kunjungan Marcel Marceau itu, pantomim kembali tertidur lelap atau bergerak merambat di strata underground.

Api dalam sekam
Boleh dikatakan, apresiasi publik terhadap cabang seni ini seperti api dalam sekam. Di tengah tontonan nikmat mata di layar TV swasta kita, masih ada orang-orang semacam Jemek yang diam-diam tetap setia mengabdi pada pantomim ini. Sebut saja Idris, yang sering kita lihat muncul dalam beberapa iklan di layar kaca beberapa tahun lalu. Dengan Sanggar Lentur-nya di Cipayung, ia masih setia mendidik anak-anak usia SD untuk berpantomim. Sambutannya ternyata sangat baik, tidak kurang dari 30 anak berhasil ia didik dalam setiap angkatannya.

Ketika penulis berada di Gorontalo tahun lalu, sejumlah rekan seniman dari Jakarta dan Cirebon mencoba mementaskan pantomim. Sambutan di kalangan mahasiswa serta pejabat maupun eksekutif daerah cukup bagus. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi. Tak lama setelah itu sejumlah mahasiswa Universitas Gorontalo mencoba menggelar karya mereka sendiri.

Sungguh sayang, bahwa tak tersedia ruang luas untuk menjadi arena bermain pantomim ini. Padahal beberapa aktor kelas dunia, seperti contohnya Robin William, justru muncul dari pantomim jalanan, dan nyatanya ia berhasil menjadi aktor kelas Oscar.
Di Ledseplein, daerah bisnis dan hiburan di Amsterdam, Belanda, bisa kita saksikan para aktor pantomim bermain bebas di trotoir dan apresiasi penduduk kota itu cukup besar. Begitu juga di kota-kota besar lainnya di negara Eropa serta AS. Kita bisa melihat, belum ada pertunjukan serupa di Jakarta. Masalahnya hingga sekarang ini belum ada yang “gila” untuk memeloporinya. Padahal tersedia banyak ruang yang bisa dimanfaatkan, seperti misalnya di mal, pameran produk-produk yang banyak diadakan di gedung-gedung bergengsi dan acara lain-lainnya.

Perlu orang-orang seperti Jemek Supardi atau Idris yang “die hard” menjadi pejuang pantomim—di tengah hiruk-pikuk gersangnya makna hiburan kita—serta para sponsor yang mau merangsang bangkitnya seni pantomim, yaitu semacam menebar bensin ke dalam api sekam agar berkobar। (*) Adji, penulis adalah pemerhati seni.