Kamis, 23 Agustus 2007

Jemek Supardi, Manusia Tanpa Kata


IA lahir dari kelam. Sekitar tiga puluh tahun lalu, Pardi Kampret, yang kini dikenal dengan nama Jemek Supardi, tumbuh di tengah keributan terminal Prawirotaman, Yogyakarta, terminal utama Kota Gudeg saat itu. Malamnya adalah temaram lampu Stasiun Tugu. Siangnya adalah keringat tukang parkir di sepanjang Jalan Malioboro.
Lelaki kurus, berambut gondrong dengan jidat membotak itu mengakrabi kawasan kelam kotanya. Seperti penghuni lain dunia itu, dia hidup dengan mencopet di Sekatenan, mencuri perhiasan mayat, judi cliwik, main kartu, dan bergaul dengan pelacur di rel kereta api.

Karena kehidupan demikian, lelaki kelahiran Pakem, Sleman, Yogyakarta, 4 Maret 1953 itu hanya sempat tamat SMP setelah tujuh kali ganti sekolah, lulus SD setelah tak naik kelas tiga kali, dan tiga bulan mengecap Jurusan Seni Lukis Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia. Namun, jalan hidupnya berubah ketika dia mengenal kesenian.

Terang Teater
Pertengahan 1970-an, Yogya adalah kota seni yang dinamis. Malioboro dipenuhi seniman berambut gondrong dan urakan. Di situlah orang-orang seperti Presiden Malioboro Ashadi Siregar, Landung Simatupang, Rendra, Emha Ainun Najib, Adi Kurdi, dan Linus Suryadi Agustinus nongkrong. Jemek heran melihat mereka dan curiga mereka sama seperti dia, bajingan berbahaya yang harus diwaspadai. Tapi setelah tahu mereka seniman--sebagian dari Bengkel Teater Rendra--Jemek muda mulai tertarik.

Sikap seniman yang egaliter dan terbuka terhadap orang pinggiran menjadi ruang baru bagi Jemek. Teater kemudian mulai digelutinya dengan bergabung di sejumlah kelompok, seperti Teater Alam, Teater Dinasty, dan Teater Boneka. Namun, Jemek bukanlah seniman yang kuat menghapal. Teater yang bersandar pada dialog tidak cocok untuknya. Dia paling-paling kebagian figuran yang tak perlu dialog. Namun, dari sinilah dia mengembangkan seni peran yang belakangan diketahuinya sebagai pantomim. Dia pun rajin menonton pentas pantomim dari luar negeri yang pentas di sana, termasuk empu pantomim Prancis, Marcel Marceau, yang dikaguminya.

Pergaulan dan diskusinya dengan para seniman telah menggemburkan tanah kesenian di batinnya. "Lingkungan ini seakan-akan merestui dia berkarya," kata Edi Haryono, pimpinan Bela Studio dan anggota Bengkel Teater Rendra yang masa itu kamar kostnya rajin disinggahi Jemek. Dari sekadar berpantomim pendek mengisi beberapa acara, akhirnya Jemek pentas tunggal pada 1979 di Seni Sono, Yogya. Lalu puluhan karya lahir dan pantomim menjadi nadi hidupnya.

SENI KEHIDUPAN
Biografi kehidupannya itu lalu diringkasnya dalam sebuah pentas pantomim Teman Makan Teman yang menjadi bagian pergelaran "50 Tahun Jemek Supardi, Berkesenian Tanpa Kata" oleh Jemek dan MiM teater di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, 5-6 Maret. Tiga orang pemain termasuk Jemek kompak menyampaikan biografi itu dengan gerakan-gerakan dinamis dan lucu serta iringan musik yang cukup keras. "Ini menggambarkan berbagai macam sisi kehidupan saya, tidak hanya yang baik tapi juga tidak baiknya," kata Jemek.

Selain nomor itu, selama dua jam Jemek mementaskan lima karya lain, Halusinasi Seorang Pelukis, Selamat Datang Jakarta, Dokter Bedah, Tukang Cukur dan Kesaksian Udin. Ia didukung tiga pemain pantomim Broto, Asita, dan Win Mukti serta peran pembantu Keken, Kuncoro JP dan Guntur Songgolangit.

Hendro Suseno, penanggung jawab pagelaran itu, mengatakan Jemek memiliki berbagai sisi unik. Masa lalunya yang keras dan kelam tidak mematikan kreativitasnya, tapi justru sebaliknya, sehingga dapat menghasilkan karya-karya kreatif yang lekat dengan pengalaman pribadinya. Halusinasi Seorang Pelukis, misalnya, diilhami kehidupan isterinya, pelukis Freda Mairayanti. Di situ Jemek berperan sebagai pelukis yang menggambar seorang penari dan berkhayal penari itu benar-benar ada. Tema ini tampaknya semacam variasi dari karyanya terdahulu, Pelukis Yang Terjebak Imajinasinya (1995).

Sedangkan Kesaksian Udin merupakan karya lama dari Trilogi Kekuasaan-nya (dua lainnya, Pisowanan dan Kotak-kotak) yang pernah ditampilkan pada 1997 di Solo dan Yogya. Kesaksian Udin merupakan rekaman pantomim tentang Udin, wartawan Yogya yang kematiannya masih misterius hingga kini. Pada 1997 pula Dokter Bedah dipentaskan. Pada pentas peringatan 50 tahunnya, dengan sedikit pembaharuan, karya itu mengisahkan dokter yang membedah pasien dengan gergaji dan menemukan kabel, telepon genggam, jam weker, dan bom di dalamnya.

Pantomim Jemek sering sensasional. Dia misalkan berpantomim di tempat tak lazim, di jalan, kuburan, kereta api, dan Rumah Sakit Jiwa Magelang. Dia juga membuat heboh ketika pantomim tak disertakan dalam agenda Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 1997. Lantas, dengan pakaian pantomim--kaos hitam-hitam dan muka putih--dia berangkat dari rumahnya di Jl. Katamso dan naik becak ke Pasar Seni FKY. Tapi, satuan petugas keamanan di Benteng Vredeburg mencegat dan menggelandangnya. Dia lalu menggelar pantomim Pak Jemek Pamit Pensiun di sepanjang Malioboro. Jalan itu pun macet total.
Dia juga pernah berpantomim sepanjang Yogyakarta-Jakarta bolak-balik naik kereta api. Saat maraknya aksi mahasiswa menuntut Presiden Soeharto mundur, Jemek menggelar aksi diam dari Yogya hingga Jakarta.

Jemek jadi buah bibir ketika menggelar Bedah Bumi (1998). Di pentas itu dia "mati" dan "dikubur" di Makam Kintelan tempat para Pahlawan Revolusi dimakamkan. Jemek menyewa 10 tukang becak untuk membawa 10 peti mati, satu peti berisi dirinya. Di makam, peti-peti diturunkan dan seorang rois membacakan doa orang mati. Lalu Jemek muncul dari peti, melepas kostumnya hingga tinggal berkain putih, lalu berkeliling makam, bertanya pada nisan-nisan di mana liang kuburnya.

Bagi Jemek, aksinya di luar ruangan itu karena keprihatinannya terhadap pantomim yang masih dipandang sebelah mata. "Itu cara saya mempopulerkan pantomim sebagai kesenian menarik dan bisa bicara tentang apa saja termasuk realitas sosial dan politik," kata Jemek yang kini rambutnya bagian depan dipangkas habis hingga mirip pemeran film silat dari Cina, Jet Lee.

Namun, pantomim macam apa yang dilakoninya? Edi Haryono menilai pantomim Jemek berbeda dari pengertian Barat. "Dia berangkat dari alamiah, naluriah, bukan persentuhan dengan teknik," kata Edi. Baginya, pantomim Jemek mirip dengan seni tradisi mbarang yang dulu pernah hidup di kampung-kampung Jawa Tengah.
Yang patut dikagumi dari Jemek adalah kekonsistennya dalam berpantomim. "Saya suprise, karena kesenian baginya bukan soal coba-coba tapi hidup itu sendiri," kata Edi.

Minggu, 19 Agustus 2007

Kenal Pantomim Berkat Kuburan Dibongkar


Yogyakarta - Berbicara pantomim tak bisa lepas dari nama Jemek Supardi. Betapa tidak, hingga saat ini telah 27 tahun ia menggeluti dan mengabdikan hidupnya dalam dunia pantomim yang diakuinya kurang populer dibandingkan dengan dunia seni lainnya.

“Apa boleh buat. Ini sudah menjadi pilihan saya. Tak mungkin saya berpaling ke seni yang lain. Selain usia saya sudah tua, saya juga melihat dunia pantomim ini cocok dengan saya,” kata Jemek, lelaki kelahiran Yogya, 14 Maret 1953.
Pilihannya menjadi seniman dalam seni pantomim ini, menurut Jemek--lelaki yang berkepala plontos--bukannya tanpa dasar. Memang, pada awalnya ia sebagaimana teman-temannya yang lain bermain teater dan bergabung di Teater Alam pimpinan Azwar AN.

“Tapi karena kemampuan saya dalam memahami serta menghafal naskah kurang dan tak mau mengganggu teman main saya, ya saya putuskan menggeluti seni pantomim,” ujar Jemek kepada SH, di rumahnya yang terletak di Jl Brigjen Katamso, Yogyakarta, sederetan dengan toko penjual peti mati.

Nyatanya, pilihan Jemek tak salah. Dan ini dibuktikan dengan seringnya ia pentas, baik di dalam Kota Yogya maupun di luar kota, seperti Surabaya ataupun Jakarta. Tak hanya di panggung formal, tapi juga dilakukan di jalanan maupun di dalam kereta api. Bahkan ia sempat pula bermain di hadapan jenazah Ibunda Romo Sindhunata di Malang pada tahun 2005.

“Saya berusaha agar bisa pentas, minimal sekali dalam setahunnya. Ini untuk menjaga eksistensi saya sehingga proses kreatif saya tak berhenti di samping memopulerkan pantomim,” tegas Jemek, bapak dari seorang anak ini.

Sebagai seniman yang matang dalam dunia pantomim, Jemek sudah banyak melahirkan karya, antara lain Halusinasi Seorang Pelukis (1986), Jakarta-Jakarta (1981), Kesaksian (1997), maupun Dokter Bedah (1981). Dalam karyanya, Dokter Bedah, Jemek menyindir kecerobohan seorang dokter yang meninggalkan berbagai benda di dalam perut pasiennya.

Jemek memang berkepentingan untuk menjaga seni pantomim tetap eksis. Pasalnya, saat ini sudah sangat jarang orang yang mau menggelutinya. “Bisa dibilang regenerasinya sulit. Kalau ada lomba memang selalu ada pesertanya. Tapi setelah lomba usai, pemenangnya ya sudah, tak lagi mau terjun. Ketertarikannya hanya sebatas ikut lomba saja,” ujar Jemek yang mengaku mantan seorang “bajingan”.

Panggilan dan Pengaruh Lingkungan
Menyadari semakin tak populernya seni pantomim, toh Jemek tak mau gusar dan mencoba memaksa para pemenang lomba pantomim terus terjun ke dunia seni ini. “Karena ini pilihan dan mungkin dipandang kalah menarik dibanding dengan seni-seni yang lainnya,” tuturnya lagi.

Terjun ke dunia seni, dalam pandangan Jemek, memang suatu panggilan sekaligus keterpengaruhan lingkungan. Ia lantas mengisahkan dirinya sendiri. Sebelum menggeluti dunia seni, ia sebagai pemuda yang berandalan, suka berkelahi dan lain sebagainya. Karena suka keluyuran malam, dirinya dipanggil Supardi Kampret.
Namun keadaan menjadi berbalik arah. Hal ini diawali ketika kuburan Kerkop yang berada di dekat rumahnya dibongkar dan dijadikan sebagai Taman Hiburan Rakyat (THR), sekarang namanya Pura Wisata. Di lahan yang beralih fungsi inilah sering dipentaskan berbagai kesenian, utamanya Ketoprak dan Wayang Orang. “Di sinilah saya lantas mengenal dunia seni. Kontan saja saya yang dulunya orang tak berbudaya menjadi mengenal budaya yang begitu santun terhadap orang lain,” tutur Jemek yang mempunyai istri seorang pelukis.

Kenalannya dengan dunia seni juga ditopang dengan banyaknya anggota Bengkel Teater yang kos di sekitar THR, seperti Adi Kurdi. “Ketika mereka mau latihan ke Bengkel Teater, saya sering ikut. Di sana saya hanya melihat dan mencoba memahami kesenian,” kata Jemek yang sering telanjang dada ini.

Dan dari sekadar “mengintip” inilah ia mencoba memasuki dunia teater dengan bergabung pada teater Alam pimpinan Azwar AN. Di situlah ia lantas mendalami dunia pantomim dan kemudian dipanggil Jemek Supardi. “Saya dipanggil Jemek karena saya kalau pantomim selalu guling-guling di tempat yang basah,” tuturnya. Jadilah ia bernama Jemek Supardi hingga saat ini.(*) Yuyuk Sugarman, SP