Selasa, 23 Juli 2013

Festival Film Indie Tingkat Nasional 2013


Persyaratan Umum:
1. Kompetisi dibagi menjadi dua (2) kategori: Pelajar (SMP/SMA/SMK) dan Masyarakat Umum/ Mahasiswa.
2. Pendaftar adalah Warga Negara Indonesia, pelajar (SMP/SMA/SMK) dan masyarakat umum/ mahasiswa.
3. Film yang disertakan adalah film fiksi dengan durasi 15 – 24 menit.
4. Tahun produksi film adalah 2012 dan 2013.
5. Tema lomba : Bhinneka Tunggal Ika
6. Film yang menggunakan bahasa selain Bahasa Indonesia, wajib memiliki teks Bahasa Indonesia.
7. Film dikirimkan dalam format DVD-Video Pal (DVD-Play), sebanyak tiga (3) copy (tiga keping).
8. Pendaftar bertanggungjawab penuh atas keaslian semua materi yang dikirimkan.
9. Pendaftar wajib menyertakan surat ijin dari pemegang Hak Cipta apabila menggunakan materi non-orisinal.
10. Pendaftar wajib menyertakan kelengkapan pendaftaran sesuai yang diminta.
11. Pendaftar boleh mendaftarkan lebih dari satu film.
12. Film dan kelengkapan pendaftaran harus sudah diterima oleh panitia Festival Film Indie paling lambat tanggal 21 Oktober 2013, jam 15.00 WIB.

Kelengkapan Pendaftaran:
1. Data teknis film yang berisi: a. Judul b. Sutradara c. Tahun Produksi d. Sinopsis
2. Salinan script cerita.
3. Salinan credit title.

Ketentuan Pengiriman
1. Film dikirim dalam bentuk DVD-video pal (DVD-play), diberi label Judul Film, Nama Sutradara dan Tahun Produksi.
2. Film dan kelengkapan pendaftaran dimasukkan dalam amplop, dengan diberi keterangan pada bagian sudut kiri atas amplop: “Festival Film Indie, Pekan Film Yogyakarta 2013”, diikuti kategorinya: Pelajar atau Umum.
3. Film dan kelengkapan pendaftaran dikirimkan ke:
Panitia Festival Film Indie 
Pekan Film Yogyakarta 2013 
Seksi Perfilman, Dinas Kebudayaan DIY 
Jalan Cendana No. 11, Yogyakarta 
Telepon: (0274) 562628

Hadiah:
1. Total hadiah 115 juta rupiah
2. Film pemenang akan ditayangkan di stasiun televisi lokal
3. Trofi Sri Sultan HB X
4. Piagam penghargaan

Kontak info:
Email : kuswardhani_thy@yahoo.com
Twitter : @PekanFilmYogyakarta
Telpon : (0274) 562628

Sabtu, 07 Februari 2009

Pantomim Kita bagai Api dalam Sekam


Beberapara tahun lalu, kampiun pantomim asal Yogyakarta, Jemek Supardi, menggelar karyanya bersama teman-temannya dari Mime Theater, di Bentara Budaya Jakarta. Pagelaran itu untuk menandai ulang tahun Jemek yang ke-50. Selebihnya, seni pantomim berdiri lunglai, sepi di lengkungan tanda tanya.

Jakarta, yang pernah menjadi barometer kehidupan seni di Tanah Air pada dekade 70-an, lewat Taman Ismail Marzuki-nya, seolah kerontang dari pantomim. Celakanya, ketika seorang teman penulis bermain pantomim, orang mengira ia badut sirkus. Padahal, seni pantomim boleh dikatakan menjadi dasar permainan teater, yang mengolah kelenturan tubuh dan kepiawaian ekspresi, mimik. Beruntung sekali Didi Petet masih mengopeni cabang seni ini, walau pun telah disenyawakan dengan seni teater. Apa boleh buat, dari pada tidak sama sekali. Didi Petet sendiri sempat lama absen dalam pagelaran besar seperti sekarang ini setelah beberapa tahun yang lampau berkeliling dengan grupnya ke kota-kota besar di Pulau Jawa. Untung masih ada Didi Petet yang telah memiliki nama besar.

Septian Dwi Cahyo, yang sejak duduk di bangku SD sudah memukau publik lewat pantomimnya di layar TVRI, malah absen lama sekali. Sena Utoyo telah mendahului kita beberapa tahun lampau. Tinggallah Jemek Supardi yang masih konsekuen di jalur pantomim hingga kini, jauh dari publikasi pers ibukota. Tokoh ini pernah nekat menggelar karyanya di kereta api, dalam perjalanan antara Yogyakarta-Jakarta pulang-pergi, pada bulan Mei 1998. Hingga kini Jemek masih menggulati pantomim sehingga Emha Ainun Nadjib, yang memberi sambutan pada pagelaran 50 tahun Jemek Supardi, menjulukinya: Putra terbaik dari bangsa besar yang tahun-tahun terakhir ini semakin menunjukkan kebesarannya di mata dunia (huruf tebal sesuai teks Emha, pen). Pujian ini punya makna ganda yang luas.

Sebenarnya Indonesia, khususnya publik Jakarta, pernah ‘beruntung’ dikunjungi oleh maestro pantomim dunia, yaitu Marcel Marceau asal Perancis, pada bulan Juni 1988. Selama dua hari, sang maestro itu menunjukkan kepiawaian pantomim tingkat tingginya dan yang meyakinkan publik bahwa ia memang pantas menyandang gelar itu. Marcel, yang di Indonesia di era 70-an dikenal lewat iklan sebuah film itu, membuka sekolah pantomim di Paris, tapi waktu itu ia menyesalkan kenapa belum ada seorang pun muridnya berasal dari Indonesia. Padahal, kepada penulis ia mengatakan, bahwa ia akan memberikan rabat khusus untuk murid asal Indonesia. Tapi ia mengakui, tingkat hidup di Paris amat mahal walaupun ia bisa membebaskan biaya sekolah itu, sedangkan sekolah ini betul-betul serius, bukan seperti halnya kursus-kursus.
Ketika ditanyakan, kenapa ia tidak membuat semacam workshop saja seperti yang dilakukan aktor pantomim asal Ceko yang bermukim di Paris, Milan Sladek, dengan para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (JJKJ) seperti sebelumnya, Marcel bilang, ia tidak cukup waktu untuk itu. Milan Sladek dua kali mengunjungi Jakarta dan mengadakan workshop dengan DCJ. Sebelumnya, publik Jakarta pernah disuguhi permainan Pradel atas undangan Centre Culturele Francais (CCF) seperti halnya Marcel.
Setelah kunjungan Marcel Marceau itu, pantomim kembali tertidur lelap atau bergerak merambat di strata underground.

Api dalam sekam
Boleh dikatakan, apresiasi publik terhadap cabang seni ini seperti api dalam sekam. Di tengah tontonan nikmat mata di layar TV swasta kita, masih ada orang-orang semacam Jemek yang diam-diam tetap setia mengabdi pada pantomim ini. Sebut saja Idris, yang sering kita lihat muncul dalam beberapa iklan di layar kaca beberapa tahun lalu. Dengan Sanggar Lentur-nya di Cipayung, ia masih setia mendidik anak-anak usia SD untuk berpantomim. Sambutannya ternyata sangat baik, tidak kurang dari 30 anak berhasil ia didik dalam setiap angkatannya.

Ketika penulis berada di Gorontalo tahun lalu, sejumlah rekan seniman dari Jakarta dan Cirebon mencoba mementaskan pantomim. Sambutan di kalangan mahasiswa serta pejabat maupun eksekutif daerah cukup bagus. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi. Tak lama setelah itu sejumlah mahasiswa Universitas Gorontalo mencoba menggelar karya mereka sendiri.

Sungguh sayang, bahwa tak tersedia ruang luas untuk menjadi arena bermain pantomim ini. Padahal beberapa aktor kelas dunia, seperti contohnya Robin William, justru muncul dari pantomim jalanan, dan nyatanya ia berhasil menjadi aktor kelas Oscar.
Di Ledseplein, daerah bisnis dan hiburan di Amsterdam, Belanda, bisa kita saksikan para aktor pantomim bermain bebas di trotoir dan apresiasi penduduk kota itu cukup besar. Begitu juga di kota-kota besar lainnya di negara Eropa serta AS. Kita bisa melihat, belum ada pertunjukan serupa di Jakarta. Masalahnya hingga sekarang ini belum ada yang “gila” untuk memeloporinya. Padahal tersedia banyak ruang yang bisa dimanfaatkan, seperti misalnya di mal, pameran produk-produk yang banyak diadakan di gedung-gedung bergengsi dan acara lain-lainnya.

Perlu orang-orang seperti Jemek Supardi atau Idris yang “die hard” menjadi pejuang pantomim—di tengah hiruk-pikuk gersangnya makna hiburan kita—serta para sponsor yang mau merangsang bangkitnya seni pantomim, yaitu semacam menebar bensin ke dalam api sekam agar berkobar। (*) Adji, penulis adalah pemerhati seni.

Sabtu, 08 September 2007

Makelar Peti Mati


HIDUP dengan hanya menggantungkan penghasilan dari bermain pantomim, jelas mustahil. Hal ini mengingat jarang sekali pertunjukan yang melibatkan seni pantomim. Dalam sebulan, belum tentu ia bisa manggung dua kali, dan ini disadari betul oleh Jemek Supardi.
“Nggak mungkin bisa hidup hanya mengandalkan penghasilan dari main pantomim. Kalau ada order, paling saya hanya dibayar sekitar Rp 500.000, sementara untuk hidup bersama satu anak dan satu istri dalam sebulan jelas lebih dari penghasilan saya sekali pentas,” ungkapnya.
Karenanya, Jemek perlu pekerjaan sampingan yang kebetulan berada di depan matanya. “Saya jadi makelar peti mati. Lumayan, satu peti mati yang laku bisa mendapat imbalan 10% dari harga jual,” ungkapnya.
Bisnis sampingan ini boleh dikata sering ia jalankan. Dan ini biasanya dilakukan setiap malam. “Biasanya orang mencari peti mati itu malam hari, sementara toko sudah tutup. Nah, saya menawarkan jasa dengan mengetuk pintu toko. Setelah terjadi proses jual-beli, biasanya saya mendapat upah dari kedua belah pihak,” terang Jemek.
Jemek tak mau membuka rahasia berapa banyak uang yang didapat dalam sebulan. “Pokoknya bisa untuk menyambung hidup,” tambahnya lagi. (yuk)

Kamis, 23 Agustus 2007

Jemek Supardi, Manusia Tanpa Kata


IA lahir dari kelam. Sekitar tiga puluh tahun lalu, Pardi Kampret, yang kini dikenal dengan nama Jemek Supardi, tumbuh di tengah keributan terminal Prawirotaman, Yogyakarta, terminal utama Kota Gudeg saat itu. Malamnya adalah temaram lampu Stasiun Tugu. Siangnya adalah keringat tukang parkir di sepanjang Jalan Malioboro.
Lelaki kurus, berambut gondrong dengan jidat membotak itu mengakrabi kawasan kelam kotanya. Seperti penghuni lain dunia itu, dia hidup dengan mencopet di Sekatenan, mencuri perhiasan mayat, judi cliwik, main kartu, dan bergaul dengan pelacur di rel kereta api.

Karena kehidupan demikian, lelaki kelahiran Pakem, Sleman, Yogyakarta, 4 Maret 1953 itu hanya sempat tamat SMP setelah tujuh kali ganti sekolah, lulus SD setelah tak naik kelas tiga kali, dan tiga bulan mengecap Jurusan Seni Lukis Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia. Namun, jalan hidupnya berubah ketika dia mengenal kesenian.

Terang Teater
Pertengahan 1970-an, Yogya adalah kota seni yang dinamis. Malioboro dipenuhi seniman berambut gondrong dan urakan. Di situlah orang-orang seperti Presiden Malioboro Ashadi Siregar, Landung Simatupang, Rendra, Emha Ainun Najib, Adi Kurdi, dan Linus Suryadi Agustinus nongkrong. Jemek heran melihat mereka dan curiga mereka sama seperti dia, bajingan berbahaya yang harus diwaspadai. Tapi setelah tahu mereka seniman--sebagian dari Bengkel Teater Rendra--Jemek muda mulai tertarik.

Sikap seniman yang egaliter dan terbuka terhadap orang pinggiran menjadi ruang baru bagi Jemek. Teater kemudian mulai digelutinya dengan bergabung di sejumlah kelompok, seperti Teater Alam, Teater Dinasty, dan Teater Boneka. Namun, Jemek bukanlah seniman yang kuat menghapal. Teater yang bersandar pada dialog tidak cocok untuknya. Dia paling-paling kebagian figuran yang tak perlu dialog. Namun, dari sinilah dia mengembangkan seni peran yang belakangan diketahuinya sebagai pantomim. Dia pun rajin menonton pentas pantomim dari luar negeri yang pentas di sana, termasuk empu pantomim Prancis, Marcel Marceau, yang dikaguminya.

Pergaulan dan diskusinya dengan para seniman telah menggemburkan tanah kesenian di batinnya. "Lingkungan ini seakan-akan merestui dia berkarya," kata Edi Haryono, pimpinan Bela Studio dan anggota Bengkel Teater Rendra yang masa itu kamar kostnya rajin disinggahi Jemek. Dari sekadar berpantomim pendek mengisi beberapa acara, akhirnya Jemek pentas tunggal pada 1979 di Seni Sono, Yogya. Lalu puluhan karya lahir dan pantomim menjadi nadi hidupnya.

SENI KEHIDUPAN
Biografi kehidupannya itu lalu diringkasnya dalam sebuah pentas pantomim Teman Makan Teman yang menjadi bagian pergelaran "50 Tahun Jemek Supardi, Berkesenian Tanpa Kata" oleh Jemek dan MiM teater di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, 5-6 Maret. Tiga orang pemain termasuk Jemek kompak menyampaikan biografi itu dengan gerakan-gerakan dinamis dan lucu serta iringan musik yang cukup keras. "Ini menggambarkan berbagai macam sisi kehidupan saya, tidak hanya yang baik tapi juga tidak baiknya," kata Jemek.

Selain nomor itu, selama dua jam Jemek mementaskan lima karya lain, Halusinasi Seorang Pelukis, Selamat Datang Jakarta, Dokter Bedah, Tukang Cukur dan Kesaksian Udin. Ia didukung tiga pemain pantomim Broto, Asita, dan Win Mukti serta peran pembantu Keken, Kuncoro JP dan Guntur Songgolangit.

Hendro Suseno, penanggung jawab pagelaran itu, mengatakan Jemek memiliki berbagai sisi unik. Masa lalunya yang keras dan kelam tidak mematikan kreativitasnya, tapi justru sebaliknya, sehingga dapat menghasilkan karya-karya kreatif yang lekat dengan pengalaman pribadinya. Halusinasi Seorang Pelukis, misalnya, diilhami kehidupan isterinya, pelukis Freda Mairayanti. Di situ Jemek berperan sebagai pelukis yang menggambar seorang penari dan berkhayal penari itu benar-benar ada. Tema ini tampaknya semacam variasi dari karyanya terdahulu, Pelukis Yang Terjebak Imajinasinya (1995).

Sedangkan Kesaksian Udin merupakan karya lama dari Trilogi Kekuasaan-nya (dua lainnya, Pisowanan dan Kotak-kotak) yang pernah ditampilkan pada 1997 di Solo dan Yogya. Kesaksian Udin merupakan rekaman pantomim tentang Udin, wartawan Yogya yang kematiannya masih misterius hingga kini. Pada 1997 pula Dokter Bedah dipentaskan. Pada pentas peringatan 50 tahunnya, dengan sedikit pembaharuan, karya itu mengisahkan dokter yang membedah pasien dengan gergaji dan menemukan kabel, telepon genggam, jam weker, dan bom di dalamnya.

Pantomim Jemek sering sensasional. Dia misalkan berpantomim di tempat tak lazim, di jalan, kuburan, kereta api, dan Rumah Sakit Jiwa Magelang. Dia juga membuat heboh ketika pantomim tak disertakan dalam agenda Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 1997. Lantas, dengan pakaian pantomim--kaos hitam-hitam dan muka putih--dia berangkat dari rumahnya di Jl. Katamso dan naik becak ke Pasar Seni FKY. Tapi, satuan petugas keamanan di Benteng Vredeburg mencegat dan menggelandangnya. Dia lalu menggelar pantomim Pak Jemek Pamit Pensiun di sepanjang Malioboro. Jalan itu pun macet total.
Dia juga pernah berpantomim sepanjang Yogyakarta-Jakarta bolak-balik naik kereta api. Saat maraknya aksi mahasiswa menuntut Presiden Soeharto mundur, Jemek menggelar aksi diam dari Yogya hingga Jakarta.

Jemek jadi buah bibir ketika menggelar Bedah Bumi (1998). Di pentas itu dia "mati" dan "dikubur" di Makam Kintelan tempat para Pahlawan Revolusi dimakamkan. Jemek menyewa 10 tukang becak untuk membawa 10 peti mati, satu peti berisi dirinya. Di makam, peti-peti diturunkan dan seorang rois membacakan doa orang mati. Lalu Jemek muncul dari peti, melepas kostumnya hingga tinggal berkain putih, lalu berkeliling makam, bertanya pada nisan-nisan di mana liang kuburnya.

Bagi Jemek, aksinya di luar ruangan itu karena keprihatinannya terhadap pantomim yang masih dipandang sebelah mata. "Itu cara saya mempopulerkan pantomim sebagai kesenian menarik dan bisa bicara tentang apa saja termasuk realitas sosial dan politik," kata Jemek yang kini rambutnya bagian depan dipangkas habis hingga mirip pemeran film silat dari Cina, Jet Lee.

Namun, pantomim macam apa yang dilakoninya? Edi Haryono menilai pantomim Jemek berbeda dari pengertian Barat. "Dia berangkat dari alamiah, naluriah, bukan persentuhan dengan teknik," kata Edi. Baginya, pantomim Jemek mirip dengan seni tradisi mbarang yang dulu pernah hidup di kampung-kampung Jawa Tengah.
Yang patut dikagumi dari Jemek adalah kekonsistennya dalam berpantomim. "Saya suprise, karena kesenian baginya bukan soal coba-coba tapi hidup itu sendiri," kata Edi.

Minggu, 19 Agustus 2007

Kenal Pantomim Berkat Kuburan Dibongkar


Yogyakarta - Berbicara pantomim tak bisa lepas dari nama Jemek Supardi. Betapa tidak, hingga saat ini telah 27 tahun ia menggeluti dan mengabdikan hidupnya dalam dunia pantomim yang diakuinya kurang populer dibandingkan dengan dunia seni lainnya.

“Apa boleh buat. Ini sudah menjadi pilihan saya. Tak mungkin saya berpaling ke seni yang lain. Selain usia saya sudah tua, saya juga melihat dunia pantomim ini cocok dengan saya,” kata Jemek, lelaki kelahiran Yogya, 14 Maret 1953.
Pilihannya menjadi seniman dalam seni pantomim ini, menurut Jemek--lelaki yang berkepala plontos--bukannya tanpa dasar. Memang, pada awalnya ia sebagaimana teman-temannya yang lain bermain teater dan bergabung di Teater Alam pimpinan Azwar AN.

“Tapi karena kemampuan saya dalam memahami serta menghafal naskah kurang dan tak mau mengganggu teman main saya, ya saya putuskan menggeluti seni pantomim,” ujar Jemek kepada SH, di rumahnya yang terletak di Jl Brigjen Katamso, Yogyakarta, sederetan dengan toko penjual peti mati.

Nyatanya, pilihan Jemek tak salah. Dan ini dibuktikan dengan seringnya ia pentas, baik di dalam Kota Yogya maupun di luar kota, seperti Surabaya ataupun Jakarta. Tak hanya di panggung formal, tapi juga dilakukan di jalanan maupun di dalam kereta api. Bahkan ia sempat pula bermain di hadapan jenazah Ibunda Romo Sindhunata di Malang pada tahun 2005.

“Saya berusaha agar bisa pentas, minimal sekali dalam setahunnya. Ini untuk menjaga eksistensi saya sehingga proses kreatif saya tak berhenti di samping memopulerkan pantomim,” tegas Jemek, bapak dari seorang anak ini.

Sebagai seniman yang matang dalam dunia pantomim, Jemek sudah banyak melahirkan karya, antara lain Halusinasi Seorang Pelukis (1986), Jakarta-Jakarta (1981), Kesaksian (1997), maupun Dokter Bedah (1981). Dalam karyanya, Dokter Bedah, Jemek menyindir kecerobohan seorang dokter yang meninggalkan berbagai benda di dalam perut pasiennya.

Jemek memang berkepentingan untuk menjaga seni pantomim tetap eksis. Pasalnya, saat ini sudah sangat jarang orang yang mau menggelutinya. “Bisa dibilang regenerasinya sulit. Kalau ada lomba memang selalu ada pesertanya. Tapi setelah lomba usai, pemenangnya ya sudah, tak lagi mau terjun. Ketertarikannya hanya sebatas ikut lomba saja,” ujar Jemek yang mengaku mantan seorang “bajingan”.

Panggilan dan Pengaruh Lingkungan
Menyadari semakin tak populernya seni pantomim, toh Jemek tak mau gusar dan mencoba memaksa para pemenang lomba pantomim terus terjun ke dunia seni ini. “Karena ini pilihan dan mungkin dipandang kalah menarik dibanding dengan seni-seni yang lainnya,” tuturnya lagi.

Terjun ke dunia seni, dalam pandangan Jemek, memang suatu panggilan sekaligus keterpengaruhan lingkungan. Ia lantas mengisahkan dirinya sendiri. Sebelum menggeluti dunia seni, ia sebagai pemuda yang berandalan, suka berkelahi dan lain sebagainya. Karena suka keluyuran malam, dirinya dipanggil Supardi Kampret.
Namun keadaan menjadi berbalik arah. Hal ini diawali ketika kuburan Kerkop yang berada di dekat rumahnya dibongkar dan dijadikan sebagai Taman Hiburan Rakyat (THR), sekarang namanya Pura Wisata. Di lahan yang beralih fungsi inilah sering dipentaskan berbagai kesenian, utamanya Ketoprak dan Wayang Orang. “Di sinilah saya lantas mengenal dunia seni. Kontan saja saya yang dulunya orang tak berbudaya menjadi mengenal budaya yang begitu santun terhadap orang lain,” tutur Jemek yang mempunyai istri seorang pelukis.

Kenalannya dengan dunia seni juga ditopang dengan banyaknya anggota Bengkel Teater yang kos di sekitar THR, seperti Adi Kurdi. “Ketika mereka mau latihan ke Bengkel Teater, saya sering ikut. Di sana saya hanya melihat dan mencoba memahami kesenian,” kata Jemek yang sering telanjang dada ini.

Dan dari sekadar “mengintip” inilah ia mencoba memasuki dunia teater dengan bergabung pada teater Alam pimpinan Azwar AN. Di situlah ia lantas mendalami dunia pantomim dan kemudian dipanggil Jemek Supardi. “Saya dipanggil Jemek karena saya kalau pantomim selalu guling-guling di tempat yang basah,” tuturnya. Jadilah ia bernama Jemek Supardi hingga saat ini.(*) Yuyuk Sugarman, SP

Senin, 16 Juli 2007

Parodi Hidup dan Mimpi Tanpa Kata


Oleh Alex Suban (Wartawan Suara Pembaharuan)


HALUSINASI - Pantomimer, Jemek Supardi, memainkan peran sebagai pelukis yang terhanyut dalam kekaguman karyanya. Ia bermimpi lukisannya menjelma menjadi nyata, dalam salah satu nomor pantomim "Halusinasi Seorang Pelukis" di Bentara Budaya Jakarta, baru-baru ini.
HARAPAN sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Mungkin karena itu, kehidupan manusia selalu dibayangi mimpi. Kenyataan hidup terasa jauh lebih rumit dari mimpi. Begitulah versi hidup dari Jemek Supardi yang menggunakan medium pantomim untuk refleksi problematika hidup di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), baru-baru ini.Jemek Supardi menggelar pertunjukan dalam rangka 50 tahun perjalanan berkeseniannya. Dengan pertunjukan yang sama, Jemek tampil sukses di Yogyakarta Maret 2003. Aksi pantomimnya di BBJ disaksikan sekitar 200 orang yang duduk lesehan. Jemek menggunakan properti panggung yang sederhana, selembar layar putih membentang di tengah panggung.Pentas yang berjudul Berkesenian Tanpa Kata-kata ini kental dengan parodi, khas tontonan pantomim. Di depan penonton, dia berkisah tentang nasib para tukang cukur yang tergilas salon-salon mewah. Tukang cukur yang kerap mangkal di bawah pohon makin tersingkirkan, sepi pelanggan. Sampai-sampai, si tukang cukur mesti merayu seorang bocah agar mau dicukur. Berikutnya sebagai gambaran ironi, mereka malah saling mencukur demi eksistensi profesi.Gaya pantomim yang kocak masih diangkat Jemek pada segmen selanjutnya. Jemek menyentil kesombongan yang menjadi budaya masyarakat. Kali ini, dia berlagak seperti pelukis kawakan. Jemek dengan atribut pelukis mengerjakan lukisan seorang penari. Wajah si penari yang jelita sangat padu dengan tubuhnya yang gemulai. Jemek menampilkannya lewat siluet penari di balik kain putih.Sang pelukis sangat mengagumi karyanya. Tubuh penari itu demikian indahnya sehingga ia memandangi terus ke arah kanvas. Ia larut dalam kekagumannya, sehingga terlelap dan terbuai mimpi.Dalam halusinasinya sang penari melompat dari kanvas dan menari mengelilinginya. Perempuan jelita berkemben merah dan berambut hitam menari dengan lemah gemulai. Sang penari mengelilingi dan mendekati sang pelukis yang tertidur, kemudian mengelus rambutnya. Bau ha-rum tubuh sang penari membangkitkan pelukis dari lelapnya. Dengan wajah tak percaya tatapannya tak bisa menghindar dari gemulainya gadis molek itu. Ia terhanyut kala sang penari mencium pipinya. Sang pelukis tak kuasa menahan diri dan ia melompat dari kursinya. Dia mengejar sang penari dan merengkuhnya. Sang pelukis terbangun, karena menabrak kanvas lukisan.Jemek dan kawan-kawannya dari Yogyakarta, tidak hanya menampilkan keseriusan dalam pertunjukannya. Kelucuan-kelucuan mengalir dari gerakan-gerakan konyol yang menyentil. Gelak tawa para penonton tidak henti-hentinya saat adegan mandi.CerobohBetapa cerobohnya seorang dokter yang mengoperasi pasiennya di ruang bedah. Sang dokter sampai meninggalkan telepon genggam di dalam perut si pasien.Nama Jemek dan pertunjukannya yang menghibur dengan sentilan yang cerdik, menahan penonton untuk tetap bergeming, walaupun harus bersusah-susah menembus hujan deras yang mengguyur saat itu.Jemek yang pada 4 April 2003 sudah menjalani hidup selama setengah abad memang lebur dalam dunia seni tanpa kata-kata. Pantomim sudah mengalir dalam urat nadi seniman asal Yogyakarta ini. Walaupun seni pantomim tidak mendapat tempat sejajar dengan seni pertunjukan lainnya, Jemek tetap konsisten menjalaninya.Dalam perjalanan hidupnya yang penuh kontroversi, kegelisahan selalu mengganggu pikirannya. Namun ia tidak lancar menjalin kata-kata yang indah, sehingga kegelisahannya ia ramu dalam berbagai karya yang ditampilkan sebagai refeleksi setengah abad usianya.Jemek memang penuh kontroversi, bahkan kegilaan menurut ukuran orang biasa. Ia tidak hanya berpantomim di atas panggung, lahan kuburan pun menjadi pentasnya dalam berkesenian. Berbagai cara dilakukannya untuk menaikkan pamor pantomim. Mengkritik Soeharto dengan bahasa tubuh pun ia lakukan dalam waktu sepuluh jam perjalanan kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta. (A-20)

Jumat, 13 Juli 2007

Melawan Korupsi via Pantomim

MELAWAN tindakan korupsi tidak selalu dengan kata-kata. Jemek Supardi (54) misalnya, justru dengan gerakan-gerakan yang jika diterjemahkan maknanya juga sama, yakni berantas korupsi. Pada kampanye anti korupsi yang berlangsung di Bunderan UGM, persis di hari valentine, 14 Februari lalu, pantomimer Jemek Supardi pun dalam aksinya mencoba mengekspresikan tindakan seorang pejabat yang coba-coba melakukan korupsi. Malahan, jika memerhatikan gerakan pantomim yang digambarkan Jemek, korupsi yang dilakukan pejabat itu, sudah sangat blak-blakan. “So!” kata Jemek sembari menempelkan telapak tangannya ke tangan Hendro Pleret yang saat itu bertindak sebagai MC.
Saat berbincang dengan KR, Jemek menyatakan, bukan pekerjaan gampang memerangi korupsi. Apalagi, penyakit tersebut dinilainya sudah mendarah daging di negeri ini. Tetapi, diakuinya, tema korupsi sangat menantang untuk diangkat dalam seni pantomim. “Ya, kalau saya tema korupsi yang sederhana dan ada di sekitar kita saja,” kata Jemek, yang tetap setia dengan profesinya itu.Menurut Jemek, seorang pekerja seni pun bisa melakukan korupsi. Misalnya, dirinya yang seharusnya tampil 15 menit, tetapi ternyata belum genap 10 menit sudah rampung. “Itu, kan juga korupsi waktu,” ujar Jemek yang mengaku sudah berusia lebih dari kepala lima ini.

Ketika mendapat tawaran untuk mengisi acara kampanye anti korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di UGM, Jemek merasa senang dan tak masalah. “Karena, pantomim sudah merupakan profesi, saya jalani saja,” katanya. Bagi Jemek, seni pantomim bukan sekadar dimainkan asal-asalan.

Tetapi, harus penuh penghayatan. Bahkan, tak jarang yang ia lakukan merupakan pengalaman keseharian yang dihadapi. Dalam kehidupan nyata, Jemek sudah banyak makan asam garam. Dirinya, pernah menjadi penggali dan penunggu kubur. Laki-laki dengan ciri khas menggunduli separo kepalanya ini, pernah pula menjadi ‘pemangsa’ sesaji yang dipersembahkan seorang peziarah di tiap malam Jumat Kliwon.Sejumlah karya Jemek yang pernah dipentaskan di panggung di antaranya Lingkar-lingkar, Dokter Bedah, Tukang Cukur, Halusinasi Seorang Pelukis, Jakarta-jakarta dan Kesaksian. Di kalangan seniman di Yogya, Jemek Supardi, termasuk suhu. Terlebih, kepiawaiannya berpantomim belum ada yang menyamai, sehingga ia pun sering menjadi jujugan para junior untuk berguru. (Obi)-o