Saat berbincang dengan KR, Jemek menyatakan, bukan pekerjaan gampang memerangi korupsi. Apalagi, penyakit tersebut dinilainya sudah mendarah daging di negeri ini. Tetapi, diakuinya, tema korupsi sangat menantang untuk diangkat dalam seni pantomim. “Ya, kalau saya tema korupsi yang sederhana dan ada di sekitar kita saja,” kata Jemek, yang tetap setia dengan profesinya itu.Menurut Jemek, seorang pekerja seni pun bisa melakukan korupsi. Misalnya, dirinya yang seharusnya tampil 15 menit, tetapi ternyata belum genap 10 menit sudah rampung. “Itu, kan juga korupsi waktu,” ujar Jemek yang mengaku sudah berusia lebih dari kepala lima ini.
Ketika mendapat tawaran untuk mengisi acara kampanye anti korupsi yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di UGM, Jemek merasa senang dan tak masalah. “Karena, pantomim sudah merupakan profesi, saya jalani saja,” katanya. Bagi Jemek, seni pantomim bukan sekadar dimainkan asal-asalan.
Tetapi, harus penuh penghayatan. Bahkan, tak jarang yang ia lakukan merupakan pengalaman keseharian yang dihadapi. Dalam kehidupan nyata, Jemek sudah banyak makan asam garam. Dirinya, pernah menjadi penggali dan penunggu kubur. Laki-laki dengan ciri khas menggunduli separo kepalanya ini, pernah pula menjadi ‘pemangsa’ sesaji yang dipersembahkan seorang peziarah di tiap malam Jumat Kliwon.Sejumlah karya Jemek yang pernah dipentaskan di panggung di antaranya Lingkar-lingkar, Dokter Bedah, Tukang Cukur, Halusinasi Seorang Pelukis, Jakarta-jakarta dan Kesaksian. Di kalangan seniman di Yogya, Jemek Supardi, termasuk suhu. Terlebih, kepiawaiannya berpantomim belum ada yang menyamai, sehingga ia pun sering menjadi jujugan para junior untuk berguru. (Obi)-o
1 komentar:
yoooh, lumayan iki. Sapa sing gawe blog iki? Imung? Kenken? Salam!
Posting Komentar