Senin, 16 Juli 2007

Parodi Hidup dan Mimpi Tanpa Kata


Oleh Alex Suban (Wartawan Suara Pembaharuan)


HALUSINASI - Pantomimer, Jemek Supardi, memainkan peran sebagai pelukis yang terhanyut dalam kekaguman karyanya. Ia bermimpi lukisannya menjelma menjadi nyata, dalam salah satu nomor pantomim "Halusinasi Seorang Pelukis" di Bentara Budaya Jakarta, baru-baru ini.
HARAPAN sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Mungkin karena itu, kehidupan manusia selalu dibayangi mimpi. Kenyataan hidup terasa jauh lebih rumit dari mimpi. Begitulah versi hidup dari Jemek Supardi yang menggunakan medium pantomim untuk refleksi problematika hidup di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), baru-baru ini.Jemek Supardi menggelar pertunjukan dalam rangka 50 tahun perjalanan berkeseniannya. Dengan pertunjukan yang sama, Jemek tampil sukses di Yogyakarta Maret 2003. Aksi pantomimnya di BBJ disaksikan sekitar 200 orang yang duduk lesehan. Jemek menggunakan properti panggung yang sederhana, selembar layar putih membentang di tengah panggung.Pentas yang berjudul Berkesenian Tanpa Kata-kata ini kental dengan parodi, khas tontonan pantomim. Di depan penonton, dia berkisah tentang nasib para tukang cukur yang tergilas salon-salon mewah. Tukang cukur yang kerap mangkal di bawah pohon makin tersingkirkan, sepi pelanggan. Sampai-sampai, si tukang cukur mesti merayu seorang bocah agar mau dicukur. Berikutnya sebagai gambaran ironi, mereka malah saling mencukur demi eksistensi profesi.Gaya pantomim yang kocak masih diangkat Jemek pada segmen selanjutnya. Jemek menyentil kesombongan yang menjadi budaya masyarakat. Kali ini, dia berlagak seperti pelukis kawakan. Jemek dengan atribut pelukis mengerjakan lukisan seorang penari. Wajah si penari yang jelita sangat padu dengan tubuhnya yang gemulai. Jemek menampilkannya lewat siluet penari di balik kain putih.Sang pelukis sangat mengagumi karyanya. Tubuh penari itu demikian indahnya sehingga ia memandangi terus ke arah kanvas. Ia larut dalam kekagumannya, sehingga terlelap dan terbuai mimpi.Dalam halusinasinya sang penari melompat dari kanvas dan menari mengelilinginya. Perempuan jelita berkemben merah dan berambut hitam menari dengan lemah gemulai. Sang penari mengelilingi dan mendekati sang pelukis yang tertidur, kemudian mengelus rambutnya. Bau ha-rum tubuh sang penari membangkitkan pelukis dari lelapnya. Dengan wajah tak percaya tatapannya tak bisa menghindar dari gemulainya gadis molek itu. Ia terhanyut kala sang penari mencium pipinya. Sang pelukis tak kuasa menahan diri dan ia melompat dari kursinya. Dia mengejar sang penari dan merengkuhnya. Sang pelukis terbangun, karena menabrak kanvas lukisan.Jemek dan kawan-kawannya dari Yogyakarta, tidak hanya menampilkan keseriusan dalam pertunjukannya. Kelucuan-kelucuan mengalir dari gerakan-gerakan konyol yang menyentil. Gelak tawa para penonton tidak henti-hentinya saat adegan mandi.CerobohBetapa cerobohnya seorang dokter yang mengoperasi pasiennya di ruang bedah. Sang dokter sampai meninggalkan telepon genggam di dalam perut si pasien.Nama Jemek dan pertunjukannya yang menghibur dengan sentilan yang cerdik, menahan penonton untuk tetap bergeming, walaupun harus bersusah-susah menembus hujan deras yang mengguyur saat itu.Jemek yang pada 4 April 2003 sudah menjalani hidup selama setengah abad memang lebur dalam dunia seni tanpa kata-kata. Pantomim sudah mengalir dalam urat nadi seniman asal Yogyakarta ini. Walaupun seni pantomim tidak mendapat tempat sejajar dengan seni pertunjukan lainnya, Jemek tetap konsisten menjalaninya.Dalam perjalanan hidupnya yang penuh kontroversi, kegelisahan selalu mengganggu pikirannya. Namun ia tidak lancar menjalin kata-kata yang indah, sehingga kegelisahannya ia ramu dalam berbagai karya yang ditampilkan sebagai refeleksi setengah abad usianya.Jemek memang penuh kontroversi, bahkan kegilaan menurut ukuran orang biasa. Ia tidak hanya berpantomim di atas panggung, lahan kuburan pun menjadi pentasnya dalam berkesenian. Berbagai cara dilakukannya untuk menaikkan pamor pantomim. Mengkritik Soeharto dengan bahasa tubuh pun ia lakukan dalam waktu sepuluh jam perjalanan kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta. (A-20)

Tidak ada komentar: