Rabu, 11 Juli 2007

Pantomim Belum Mati

Happening art merupakan seni pantomim yang banyak ditemui masyarakat, baik saat peluncuran produk maupun aksi unjukrasa. Seni pantomim tidak prospektif. Inilah 'dalih' yang selalu mengemuka, tatkala ditanyakan mengapa pada era 2000-an, pantomin seolah tertidur lelap. Padahal satu dasa warsa sebelumnya, terjadi booming pantomim.
Pantomim, tetap hidup. Di televisi, misalnya, kita sering menyaksikan paket-paket acara ini. Kemudian pertunjukan happening art dari beberapa perusahaan yang tengah menyelenggarakan suatu acara. Seniman-seniman pantomim baik dari mahasiswa-mahasiswa seni, orang-orang teater sampai yang sudah kondang seperti, Jemek Supardi, Septian Dwi Cahyo dan Muhiyanto, mengisi acara ini.
Happening art juga ikut mewarnai sejumlah aksi unjukrasa mahasiswa. Belakangan, pantomim ikut mendukung kampanye publik. Misalnya kampanye publik penggunaan sabuk keselamatan.
Sebenarnya, kegiatan mendekatkan seni pantomim dari khalayak, telah dilakukan sejak lama. Sejak 1980-an, sebuah kelompok teater pantomim Sena Didi Mime (SDM) yang dipimpin aktor Didi Petet. memperagakan seni pantomim dan happening art langsung di tengah khalayak. Mereka memperagakan adegan yang mengundang perhatian orang di pasar, jalan-jalan dan pusat-pusat keramaian lain. Cara ini, menurut pengurus SDM, Yayu Aw Unru, memang terlihat gila. Bayangkan saja, di tengah pasar ada orang dengan topeng dan pakaian aneh memperagakan gerakan-gerakan pantomim.
Format berkesenian itu memang disengaja. Selama ini orang mengenal seni pertunjukan selalu menempatkan penonton di bawah panggung, dan pertunjukan seni di atas panggung. Seni menjadi terpisah dan bejarak dengan khalayak. ''Ini yang harus didobrak,'' tegas Yuyu, seorang seniman pantomim.
Sejumlah perusahaan yang melibatkan seniman pantomim dalam pengenalan produk, memang memiliki dua alasan sekaligus. Perusahaan itu berniat memperkenalkan seni pertunjukan pantomim itu ke khalayak. Pada saat yang sama dengan penampilan seni pantomim bisa dhilangkan jarak atau batas kepada khalayak saat mereka mempromosikan suatu produk. Mereka menilai peran para seniman itu cukup efektif untuk ikut mempromosikan produknya.
Apapun alasannya, bagi seorang seniman pantomim senior seperti Jemek, perkembangan pantomim memang menggembirakan. Seni pantomim telah mendapat tempat di masyarakat. Hal ini tampak dari makin banyaknya pementasan-pementasan walaupun hanya sekedar sebagai happening art.
Bagi Jemek Supardi, seni pantomim itu suatu seni yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat. ''Kekonyolan-kekonyolan yang diolah secara imaji-kreatif itulah yang mendekatkan pantomim dengan masyarakat,'' paparnya. Karena pada dasarnya seni pantomim itu kekonyolannya diciptakan dengan proses imaji-kreatif.
Karena merasa seni pantomim itu tetap eksis, hal itul pulalah yang membuat kelompok teater SDM menggelar pementasan di Gedung Kesenian Jakarta pada 23-24 April 2004 lalu sekaligus menandai kiprah kelompok teater pantomim SDM, yang pada 14 April lalu memasuki usia ke-17. Pementasan pantomim karya terbaru kelompok ini, mengangkat persoalan demokratisasi bertajuk Kaki Kaki Tangan. Pentas kali ini digarap dua sutradara sekaligus, yakni Yuyu Aw dan Didi Petet Dalam pementasan SDM kali ini hanya melibatkan pemain sekitar 10 orang, lain dari biasanya yang bisa mencapai 100 pemain. ''Kali ini kita mentas dengan sedikit pemain. Ada kejadian ketika Soledad akan dipentaskan keliling Eropa, ada beberapa teman yang tidak bisa ikut. Dan kita cuma main dengan sedikit orang,'' ujar Yuyu Aw Unru.
Pementasan yang disponsori oleh Uni Eropa dan United Nation Development Program (UNDP) menawarkan tafsir penerapan demokrasi yang asli sebagai solusi dari kondisi masyarakat saat ini yaitu ketidaksehatan di bidang hukum dan ekonomi. Para seniman SDM membuat interpretasi artistik terhadap demokrasi. Indonesia selayaknya mempelajari pelaksanaan demokrasi di Eropa. Sebab, demokrasi yang sesungguhnya terletak pada pemenuhan hak dan kesadaran untuk menjalankan kewajiban.
Penggambaran umum mengenai makna demokrasi, diilustrasikan dengan mengusung bongkahan-bongkahan karet-karet ban dalam ke atas panggung. Sejumlah pemain berwajah boneka dengan menggunakan kostum warna cokelat muda, tampak melakukan gerakan-gerakan 'pembobolan dinding' secara seksama dan bertenaga. Masing-masing pemain mengendong tubuh-tubuh manusia telanjang tanpa busana. Boneka-boneka warna orange tersebut terbuat dari bahan ringan Didi Petet mengemukakan, sajian pantomim tidak selalu kritik sosial sehingga simbol yang ada jangan selalu diidentikkan dengan politik yang sedang aktual. ''Waktu kami pentas Cerita tentang Pelangi, cerita ini diidentikkan dengan kritik sosial karena terlalu banyak simbol politik di masyarakat kita,'' ujarnya.
Menurut Yuyu, pementasan pantomim ini tidak dikerjakan berdasarkan naskah, melainkan langsung dipraktikkan. Bentuk pertunjukan didasarkan pada sketsa. Benang merah pertunjukan akan terlihat dari sketsa tersebut. Vokal dan dialog akan dikemas mirip seperti irama daripada kata-kata.
Sejumlah seniman 'jebolan' SDM dan pekerja seni dan film lainnya, turut hadir dan memberi komentarnya tentang eksistensi kelompok pantomim ini. Diantara mereka adalah H Subarkah, Farid, Dik Doank, Mathias Muchus, Eeng Saptahadi dan lain-lain. Menurut Subarkah, tak sedikit aktor sinetron dan film yang sempat 'berlatih' di SDM.
''SDM boleh dibilang adalah kumpulan tempat para aktor. Kehadirannya, sangat mengguncang perhatian karena konsep mereka tidak umum sebagai grup pantomim,'' kata H Subarkah, pemain sinetron yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta ini.
Yang unik dan tidak lazim, grup ini pernah mendatangkan lebih dari 20 bahkan mencapai 90-an personel untuk sekali main. ''Padahal, di luar negeri saja hanya ada grup pantomim dengan jumlah pemain maksimal 7 orang,'' jelas Subarkah menambahkan.
Mengenai keberadaan seni pantomim, Didi Petet berujar bahwa pertunjukan pantomim tergolong memang langka tapi tidak akan pernah mati karena seni ini selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. ''Seni pantomim tetap menarik untuk dinikmati dari berbagai sisi termasuk sisi kejenakaannya. Kritik sosial tidak selalu menjadi tema inti dalam pertunjukan pantomim. Tetapi bentuk kesenian ini lebih mengutamakan ekspresi perasaan manusia. Mulai dari rasa sedih, gembira dan kelucuan.'' (rusdy nurdiansyah )

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo Bisa Di tampilin donk Cara" belajar Panomimnya Sama geraka"nya, Jadi Semua Bisa Belajar n Gak Mati