Rabu, 11 Juli 2007

Berkesenian Tanpa Pretensi


PADA usia 50 tahun, kata Jemek Supardi, ia sudah harus memantapkan pilihan untuk terus menekuni pantomim. Sebuah seni yang setidaknya di Indonesia sangat kesepian. Tidak seorang peziarah pun yang bersetia untuk singgah lalu sekadar mereguk dan menikmati keindahan gerakannya.
TETAPI, Jemek sejak awal tahun 1980-an terus berjalan hingga ia menemukan ungkapan yang pas untuk merumuskan pertemuannya dengan kesenian, "Sudah pantang untuk surut," kata Jemek yang membotaki separuh kepalanya itu. Ia memang tak jemu menjahili dirinya.
Sejak ia menjadi penghuni kuburan pada usia belasan tahun sampai Jumat (4/4) malam ketika ia mementaskan karya-karya retrospeksi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jemek tetap seseorang pengelana yang berjalan dari sunyi ke sunyi. Meski ia melumuri sekujur tubuhnya dengan tinta warna emas pada bagian akhir pentas, ia tetaplah Jemek yang dulu "bajingan" dan tak malu menjalani laku menderita. (Mungkin, warna emas itu dihubung-hubungkan dengan usianya 50 tahun itu).
Cobalah tengok pada karyanya yang berjudul Dokter Bedah (1981) yang dimainkan oleh Broto dan Ashita, bagaimana Jemek dengan lugas mengkritik perilaku ceroboh seorang dokter yang meninggalkan berbagai benda di dalam perut pasiennya. Ia bahkan tak henti, lagi-lagi menjahili para dokter dengan menukar kemaluan pasiennya dengan kemaluan seorang anjing. Dan karena itu kemudian cara kencingnya pun mirip-mirip anjing.
"Coba, dulu yang tertinggal di perut cuma berbagai peralatan operasi, sekarang karena dokter mengoperasi sembari menelepon bisa-bisa HP juga tertinggal di perut pasien..." kata Jemek Supardi terkekeh-kekeh.
Dua "murid" Jemek, Broto dan Ashita, kendati telah cukup mampu menerjemahkan cerita menjadi bahasa gerak tetapi mereka tetap saja belum bisa menyamai gurunya. Dalam setiap penampilannya, Jemek nyaris-nyaris tak berjarak dengan kisah yang ia tuturkan.
Barangkali, itulah bedanya antara seseorang yang melakoni dengan mereka yang memainkan. "Dulu saya selalu memainkan karya ini sendirian, maka jadi berat sekali," tutur Jemek.
Pada kisah Tukang Cukur (1984) misalnya, Jemek memulai karya ini ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa sejak awal tahun 1980-an, sedang menjadi mode anak-anak muda berambut gondrong. Di sisi lain salon-salon modern bermunculan di mana-mana.
"Saya berpikir bagaimana nasib para tukang cukur yang mangkal di bawah-bawah pohon di dekat pasar, " kata Jemek. Mungkin banyak yang kemudian mengira Jemek sedang menjadi juru bicara mereka yang terhempas karena arus modernisasi.
Pada satu sisi barangkali nyaris benar tetapi pada kebanyakan sisi Jemek malahan membuat plot cerita menjadi sangat absurd. Jelasnya ia "menjahati" para tukang cukur itu.
Secara lugas, karya itu memperlihatkan bagaimana tukang cukur membujuk seorang anak kecil dengan memberinya permen, hanya agar ia mau dicukur. Tetapi, ketika semua upaya itu gagal, maka para tukang cukur saling menyodorkan kepalanya untuk dicukur.
Sebuah alur cerita yang kalau dikorek-korek bisa saja sesungguhnya mengabarkan sesuatu yang getir. Seperti seorang pedagang kue, yang karena kuenya tidak laku maka daripada basi, baiknya dimakan sendiri. Mungkin ketika giginya memotong kue, sedikit demi sedikit, ibarat ia tengah memotong seluruh nasib baiknya hari ini.
MALAM itu juga dimainkan karya-karya Jemek yang lain seperti Halusinasi Seorang Pelukis (1986), Jakarta Jakarta (1981), dan Kesaksian (1997). Selain ide yang dipenuhi renungan disertai kenakalan, paling menarik dicatat dalam pementasan ini, pelibatan berbagai elemen teater untuk mendukung satu gagasan estetik.
Katakanlah, keterlibatan seniman seperti Bimo Wiwohatmo selaku sutradara, pelukis Hendro Suseno pengurus produksi, serta bintang tamu penari Lena Guslina, dan tak lupa penata musik Memet Chairul Slamet, membuat pementasan ini menjadi lebih bergerak.
Pergelaran pementasan untuk memperingati usia ke-50 tahun Jemek Supardi, bagi saya hanyalah sekadar alasan untuk berkreasi. Kelompok ini tidak sekadar memungut Jemek, yang menurut Seno Gumira Ajidarma hidup di terowongan yang lembab dan gelap. Tetapi, Jemek dihadirkan sekadar sebagai pemicu untuk melakukan terobosan estetik dan membuat pernyataan bahwa teater apa pun bentuknya adalah sebuah perayaan terhadap kemenangan kemanusiaan.
Pementasan Jemek yang biasa dilakukan dengan penuh kebersahajaan, kali ini tampil sebagai keutuhan yang bernas hingga ide-idenya tak hanya menjadi bahan lelucon. Jauh dari itu, Jemek Supardi dan kawan-kawan dari Yogyakarta, mengajak kita untuk menyadari betapa tidak mudahnya menjadi manusia (dalam Jakarta Jakarta), betapa kemashyuran bisa membuat seorang pelukis berfantasi tentang berbagai hal yang menyenangkan (dalam Halusinasi Seorang Pelukis), dan betapa absurdnya perilaku-perilaku yang mengagungkan profesi (coba simak Tukang Cukur dan Dokter Bedah).
Bahkan karena pengagungan terhadap profesi itu, sebuah kesalahan pun dianggap sebagai lelucon, tanpa memahami perasaan para "korbannya".
"Ini yang sekarang sering terjadi, teman memakan teman. Seperti dalam judi, coba, yang kita lawan teman sendiri, kalau menang berarti mengalahkan teman sendiri..." tutur Jemek. Pasti ia sedang mencoba berarif-arif. Karena pada suatu waktu, pastilah lelaki kerempeng ini bakal mengaku bahwa ia juga seorang penjudi yang "kecanduan".
Bagaimana seorang penjudi bisa mengajarkan tentang kebenaran moral? Bagaimana seorang gila (seperti pada banyak sastrawan) bisa memberikan kejernihan pikiran? Pertanyaan ini, bisa dijawab dengan pertanyaan lagi, apakah kesenian harus diposisikan sebagai sumber dari segala kebenaran? Wah, lebih baik mengucapkan selamat ulang tahun ke-50 saja buat Jemek, ia yang berkesenian tanpa pretensi.... (PUTU FAJAR ARCANA)

Tidak ada komentar: