Sebuah catatan oleh Sindhunata)
INILAH kisah tentang seorang tukang cukur. Dia bukan pemotong rambut modern. Dia hanyalah tukang cukur tradisional. Maka tempat kerjanya bukan di salon, melainkan di bawah pohon. Selain gunting, di mejanya ada tondhes serta semprotan untuk memiting dan membasahi rambut.
SUDAH lama tukang cukur itu duduk termangu, tak juga datang pelanggan yang ditunggu. Sesekali datang jugalah orang padanya. Dia sudah siap mencukurnya. Ternyata orang itu hanya mau pinjam sisirnya saja. Kemudian datang orang lain. Kali ini ia hanya numpang meminjam gunting untuk merapikan kumisnya. Tak lama kemudian datang lagi seorang lain. Ia pun hanya berhenti sejenak, mematut-matut diri di depan kaca.
Tukang cukur itu melongo. Ia benar-benar ingin mencukur, tapi tak ada orang yang mau dicukur. Syukur ada seorang anak kecil. Sebenarnya anak ini sama sekali tak berniat mencukurkan rambutnya. Tapi karena diiming- imingi permen oleh si tukang cukur, akhirnya ia mau dicukur.
Ternyata rambut anak itu sulit dicukur. Maklum, rambutnya gimbal berikal-ikal. Digunting tidak mempan, di-tondhes mental, sampai si tukang cukur kehabisan akal. Tiba-tiba anak itu terkaget, ternyata kepalanya kejatuhan tahi burung.
Sejak itu, si anak tak bisa tenang lagi. Sebentar-sebentar kepalanya menggeleng ke sana ke mari. Tukang cukur meluruskan kepalanya berkali-kali, toh kepala anak itu terus miring ke kanan miring ke kiri. Habis sudah kesabaran si tukang cukur. Kepala anak itu pun dijitaknya.
Tentu anak kecil itu lalu menangis. Ia lari, lalu kembali lagi bersama ayahnya. Si ayah marah-marah, sambil menunjukkan rambut anaknya yang petal-petal. Dengan geram ia menyuruh tukang cukur merampungkannya.
Belum selesai dicukur, hujan mendadak turun. Anak itu lari, sementara selubung kain putih yang melekat di badannya ikut terbawa pergi. Si tukang cukur melongo lagi. Ia menoleh ke teman di sebelahnya yang juga tukang cukur.
Teman ini juga sedang sepi dari pelanggan. Maka si tukang cukur minta agar temannya ini bersedia untuk dicukur. Setelah itu ia sendiri ganti meminta agar temannya mencukurnya. Kedua tukang cukur yang sama-sama sepi pelanggan itu akhirnya saling cukur-cukuran.
Begitulah kisah si tukang cukur. Harap diingat, cerita itu bukan berasal dari dongengan lisan atau tulisan, melainkan dari adegan pantomim yang dipentaskan oleh Jemek Supardi. Jemek, pantomimer terkenal dari Yogyakarta, yakin bahwa pantomim mempunyai kekayaan dan kemampuan yang tidak dipunyai seni lainnya.
Dengan pantomim, ia merasa lebih bisa mengimaginasikan dan menghidupkan apa yang kurang bisa diimaginasikan atau dihidupkan seni lainnya. Adegan tukang cukur di atas kiranya membuktikan perkiraan tersebut: Dengan gerak pantomim, kisah sepi pelanggan seorang tukang cukur ternyata bisa digarap menjadi khayalan tentang kesepian manusia pada umumnya.
Halnya adalah konkret, yakni peristiwa tukang cukur yang sepi pelanggan. Pantomim Jemek ternyata bisa mengubah kesepian yang konkret ini menjadi absurditas kesepian manusia. Dan tukang cukur itu pun berubah menjadi karikatur manusia yang konyol dan absurd karena didera oleh kesepiannya.
Dalam kesepian itu ia menjadi terasing dari pekerjaannya, sampai ia ngebet untuk bisa mencukur lagi. Begitu ia merasa bisa mencukur, tahi burung mengganggunya, dan hujan melepaskan kesempatan itu, sampai akhirnya ia kehilangan selubung putihnya. Ia lalu menyerah, dan terjadilah puncak dari absurditas kesepian itu: tukang cukur itu yang haus mencukur itu akhirnya menyerahkan kepalanya sendiri untuk dicukur.
KHAS Jemek, ia selalu berupaya memberangkatkan pantomimnya dari pengalaman hidupnya sehari-hari. Itulah yang tampak misalnya dalam karyanya Menggapai Perahu Nuh. Di sini Jemek menggambarkan, tiba-tiba dunia ini dilanda banjir. Banjir dahsyat itu menenggelamkan semua makhluk.
Dari atas turunlah perahu Nabi Nuh. Baik mereka yang mati maupun yang hidup menggapai-gapai perahu itu. Mereka tidak berhasil, dan tertinggal dalam malapetaka. Sebagai manusia, Jemek terkejut, ternyata bukan hanya manusia yang masih hidup, tapi juga arwah-arwah yang mati itu pun belum memperoleh keselamatannya. Maka ia pun berdialog dengan mereka, dan berupaya membantu mereka menyelamatkan diri.
Adegan "Perahu Nuh" ini sungguh berangkat dari pengalamannya yang nyata. Di suatu siang Jemek tertidur kelelahan di makam Kintelan. Ia bermimpi, makam itu tiba-tiba kebanjiran. Ia sendiri tenggelam dan melihat makhluk-makhluk keluar dari kuburan.
Jemek tersadarkan dari mimpinya, ketika dua rekannya, Djaduk Ferianto dan Suharno, membangunkannya untuk segera latihan teater. Dari mimpinya inilah Jemek menyusun karyanya, dengan tujuan mempertontonkan kepada siapa saja, bahwa betapa pun sudah berada di ujung malapetaka, mereka yang hidup maupun yang mati tetap mempunyai kesempatan untuk menantikan pintu surga.
Sesungguhnya tak mengherankan bila makam atau kuburan memberi inspirasi bagi Jemek. Maklum, kuburan adalah tempat yang akrab baginya. Malahan dari kuburan itulah ia pernah mendapatkan nafkah hidupnya.
Jemek bertutur, tak lama sesudah peristiwa G30S PKI, ada pembongkaran kuburan Belanda di daerah THR Yogyakarta. Kuburan itu hendak dijadikan terminal. Waktu itu Jemek belum berkesenian, umurnya menjelang dua puluh tahun.
Siang hari ia menyaksikan, bagaimana kuburan-kuburan itu digali. Malam hari ia pergi ke sana lagi untuk melakukan operasi. Ia membongkar peti mati. Begitu peti mati terbongkar, tampaklah kerangka manusia.
"Rasanya seperti mengalami sendiri film-film horor," kata Jemek. Ia bergegas mengumpulkan barang-barang, seperti salib, tasbih, atau perhiasan. Bahkan pegangan peti pun disikatnya. Semua barang curian itu diperhitungkan sebagai barang antik dari Nederland.
Dengan mudah keesokan harinya Jemek menjualnya pada sindikat penampungan barang-barang antik yang berasal dari kuburan. Lama ia melakukan pekerjaan horor itu. "Teman saya, sesama pencuri, banyak yang jatuh sakit. Katanya, roh-roh marah pada mereka. Saya sendiri sehat-sehat saja," kata Jemek.
Ada lagi kisah, bagaimana Jemek memanfaatkan kuburan. Di kuburan tempat ia beroperasi ada sebuah makam. Kata orang, di makam itu disemayamkan seorang Belanda, bernama Tuan Joni. Makam Tuan Joni dianggap keramat dan bertuah.
Padahal, kata Jemek, sudah tiada lagi jasad Tuan Joni di dalamnya. Tiap malam Jumat Kliwon, ada seorang pengusaha Cina yang selalu berziarah ke makam itu. Diantar oleh Pak Darno, juru kunci makam, pengusaha kaya itu meletakkan sesajen yang disukai Tuan Joni semasa hidupnya. Maka di samping kemenyan dan bunga setaman ada juga buah-buahan, wiski dan cerutu.
Jemek melihat, setelah mengantar pengusaha itu pulang, Pak Darno mengambil lagi sesajen itu. Ia tak mau ketinggalan untuk menikmati rezeki. Maka setiap malam Jumat Kliwon, ia bersembunyi di atas pohon beringin, sebelum Pak Darno dan pengusaha itu datang.
Begitu Pak Darno mengantar pengusaha itu pulang, Jemek turun dari persembunyiannya, lalu meraup sesajen. Pak Darno heran bercampur takut, jangan-jangan ada makhluk halus yang mengambil sesajen itu.
Kejadian ini berlangsung sampai tiga kali. Ia curiga, pasti ada manusia yang mencuri sesajennya. Maka ia mencari ke sana ke mari, sampai ia menemukan Jemeklah malingnya. Pak Darno tak mempunyai alasan untuk marah pada Jemek. Sebab, kata Jemek, ia telah membohongi pengusaha itu.
Bagaimana mungkin orang bisa memberi sesajen pada Tuan Joni, padahal di makam itu sudah tiada jasadnya lagi? Akhirnya, tercapailah kompromi. Tiap kali ada sesajen untuk Tuan Joni, sesajen itu harus dibagi. Begitulah, tiap malam Jumat Kliwon, Jemek selalu mendapat jatahnya, kadang wiski, kadang cerutu, tanpa ia bersusah payah lagi dengan menjadi "hantu".
Dari makam Jemek tak hanya mendapat inspirasi untuk mencuri. Di sana ia sering terbawa untuk diam-diam berkontemplasi. Siang hari sambil terkantuk-kantuk ia mengamati patung malaikat. Rasanya patung itu diam, tapi indah.
Di sana juga ada patung Maria yang memangku jenazah Yesus. Jemek tidak tahu bahwa patung itu adalah Pieta. Namun ia merasa betapa patung itu penuh dengan penderitaan dan ketabahan, seperti yang dimaksudkan oleh Pieta yang menggambarkan penderitaan dan ketabahan Maria. Perasaan mendalam yang diperoleh dari patung di kerkop (makam) Belanda inilah yang kemudian memberi inspirasi bagi Jemek untuk menciptakan karyanya Jakarta-Jakarta.
Dalam karyanya itu Jemek menggambarkan dirinya bertukar peran dengan patung "Selamat Datang ke Jakarta", yang ada di Bundaran HI. Patung itu mengira, enaklah menjadi manusia karena bisa ke mana-mana, sebaliknya Jemek mengira, enaklah menjadi patung karena bisa tenteram dan tenang.
Karena itu Jemek menawarkan diri menjadi patung, dan patung itu mau menjadi manusia. Maka mengembaralah patung itu ke sudut-sudut Kota Jakarta. Ia hidup di suatu tempat, ternyata di sana ia ikut tergusur. Ia pergi ke Pasar Senen, ternyata di sana ia lari terbirit- birit, dikejar-kejar massa, karena dituduh pencopet. Ternyata jadi manusia itu tidak enak.
Sementara di Bundaran HI Jemek sebagai patung juga menderita. Ia kehujanan dan kepanasan, tiap saat, siang dan malam, ditimpa kebisingan. Kalau ada pesawat lewat, patung Jemek harus menundukkan diri berulang-ulang agar badannya tak hancur tersambar pesawat terbang.
Manusia diganggu nyamuk, patung diganggu pesawat. Akhirnya Jemek dan patung itu bertemu lagi, dan memutuskan untuk kembali seperti semula. Maka Jemek kembali menjadi manusia lagi, dan patung menjadi patung, namun ini terjadi dengan kesimpulan: menjadi manusia itu susah, menjadi patung juga susah.
MEMANG menjadi manusia itu susah. Itulah yang dialami Jemek, hampir sepanjang hidupnya sampai usianya yang ke lima puluh ini. Tapi katanya, susah atau tidak, ia sudah ditakdirkan menjadi manusia, karena itu ia harus menerimanya.
Dan justru karena menjadi manusia itu susah, maka janganlah manusia mempunyai target yang muluk-muluk. Maka demikianlah pendirian Jemek: Dalam hal moral, tak ingin ia bermimpi, bahwa ia bisa menjadi sangat baik; bahwa ia bisa mengurangi kejelekannya, itu sudah sangat lumayan.
Dalam hal ekonomi, asal ia bisa mencukupi hidupnya untuk hari ini saja, cukuplah itu sudah baginya. Pendirian hidup yang antitarget ini tentu tak bisa dilepaskan dari riwayat Jemek sendiri.
Kata Jemek Supardi, ia tak pernah tahu, mengapa ketika muda ia tiba-tiba terlempar ke dalam dunia yang gelap. Di sana terbukti ia mempunyai "bakat" mencopet, dan karena kelincahannya ia dijuluki Pardi Kampret. Kendati kecil, Pardi Kampret ini sangat disegani oleh teman-temannya yang tergabung dalam geng Lowo Ijo.
Maklum, Jemek yang seperti kampret memang licik dan lihai dalam mencopet. Ia mempraktikkan dengan andal segala teknik mencopet, seperti nguthil (menyikat barang atau makanan), njonthi (menempelkan badan ke korban, supaya temannya leluasa mencopet), dan ngemut leseh (mencopet dompet).
Pernah Jemek mencuri galundheng (roti goreng) di Pasar Bringharjo. Galundheng itu dibungkus dalam plastik. Tiap plastik berisi dua belas buah.
Menurut teknik nguthil, untuk tindakan itu ia seharusnya mengambil bungkusan plastik yang paling atas. Karena terburu nafsu, Jemek justru mengambil bungkusan yang paling bawah. Akibatnya, tumpukan galundheng runtuh menggelundung. Pemiliknya jadi tahu, lalu mengejar Jemek.
Karena kegesitannya, Jemek bisa menyelamatkan diri. Dalam bahasa para dauri (teman sepencopet) waktu itu, ia tidak jadi keakep (tertangkap). Namun tak senantiasa Jemek beruntung. Ia pernah keakep di Cirebon, malahan ia pernah mendekam di Polsek Ngupasan seminggu lamanya. "Reken-reken sambil istirahatlah," kenang Jemek tentang hari malangnya itu.
Jemek tidak hanya petualang dalam mencopet, tapi juga dalam perilaku lainnya. Pernah seorang gadis lugu, pelayan penjual jamu, hamil. Menurut pengakuannya, enam lelaki yang menghamilinya. Salah seorang dari mereka adalah Jemek.
Keenam lelaki itu mengakui perbuatannya. Hanya soalnya, siapa sekarang yang harus bertanggung jawab mengawininya. Jemek mengacungkan jarinya. Alasannya, hanya karena ia sok pahlawan. Kelima temannya setuju, lalu mengumpulkan uang Rp 75.000, termasuk untuk membereskan keresmian surat perkawinan.
Hari peresmian tiba. Jemek berpakaian biasa naik becak ke Kantor KUA, diantar seorang temannya, yang berjas rapi. Petugas mengira, pemuda yang berjas itu pengantin lelakinya. Ternyata bukan dia, tapi Jemek, yang justru tampak seperti pemuda berandal itu.
Setelah pemberesan perkawinan, Jemek langsung berpisah dari istrinya. Maklum, si istri tidak menuntut Jemek menjadi suaminya. Wanita itu hanya butuh bahwa ada lelaki yang secara sah menjadi bapak anaknya.
Ada lagi cerita, betapa Jemek benar licik seperti kampret. Di daerah operasinya ada seorang wanita penghibur, yang dikenal ulet dan kuat. Teman-teman Jemek mengajaknya berkencan, dan setelah itu mencoba menipunya agar mereka tidak membayar.
Ternyata mereka tidak berhasil, padahal mereka semua terkenal jago dalam menggratiskan diri terhadap wanita penghibur yang telah dikencaninya. Jemek penasaran, ia pasti bisa mengakali wanita itu.
Suatu malam, dibawanya wanita itu ke emperan sebuah sekolahan. Setelah mengencaninya, Jemek tidak langsung membayar. Ia bilang, mau membersihkan diri di sumur terlebih dahulu. Wanita itu ternyata tidak melepaskannya.
Sementara Jemek menimba air, wanita itu merangkulnya kencang-kencang, takut Jemek lari darinya. Jemek tidak kehilangan akal. Ember timba belum sampai ke atas, ia bilang, "Sebentar, saya mau menyingsingkan celana saya," katanya.
Si wanita terpaksa memegangi tali timba, dan dengan demikian lepaslah rangkulannya. Jemek tidak menaikkan celananya, tapi terus melambaikan tangannya sambil bilang, "Wis ya (Sudah ya)."
Karena takut ketahuan orang atau penjaga sekolahan, wanita itu tidak berani berteriak. Sementara bila tali timba dilepas, di dasar sumur akan timbul suara berdebum keras. Dan orang akan ribut karenanya. Maka dengan hati geram, ia terpaksa terus menimba, sambil melihat Jemek pergi meninggalkannya. Jemek betul-betul Kampret.
JEMEK tak tahu, kapan petualangannya akan berhenti. Syukur, ketika ia berusia dua puluh lima tahun, ia mulai berkenalan dengan dunia seni. Ia mulai tertarik pada tokoh-tokoh Bengkel Teater Yogyakarta pada waktu itu, seperti Adi Kurdi, Suharno, dan Ketib Suratmo.
Ia juga berkenalan dengan orang- orang dari Teater Alam. Teman-teman teater menilai, Jemek mempunyai bakat seni. Jemek sendiri sebenarnya pernah mencoba merintis bakatnya itu. Setelah tamat SMP, ia masuk ke SSRI. Tapi di sekolah seni itu ia hanya bertahan dua bulan.
Bakat pantomimnya mulai ditemukan, ketika ia ikut dalam pementasan Maling Kundang. Waktu itu ia hanya menjadi figuran yang memerankan gerak-gerak air. "Saya benar menikmati jadi air. Dari sana saya mengerti filsafat air. Hidup ini memang harus seperti air, cair, lincah, mengalir ke mana ia diperlukan," kata Jemek.
Syukur Jemek berjumpa dengan kesenian. Katanya, kesenianlah yang menyelamatkan hidupnya. "Tapi itu tidak berarti bahwa dengan berkesenian saya bisa sembuh total dari kejelekan saya. Tidak, sampai sekarang pun saya merasa tidak bisa sembuh total. Saya sudah puas, bila saya bisa mengurangi kejelekan saya, betapapun sedikitnya," tutur Jemek realistis.
Menurut Jemek, manusia tak mungkin bisa disembuhkan total dari kejelekannya, karena dalam lubuk hatinya yang terdalam, manusia ini memang jahat, kotor, dan tidak jujur. Situasi real manusia inilah yang pernah ia pentaskan dalam karyanya Arwah Pak Samun.
Karya pantomim itu bercerita tentang Pak Samun, seorang buruh perkebunan, yang bekerja pada seorang tuan tanah Belanda. Pak Samun benar-benar hamba yang tekun dan jujur. Karena itu oleh tuannya ia diangkat menjadi mandor di perkebunannya.
Setelah hidupnya enak, ternyata Pak Samun menjadi tamak dan jahat. Ia serakah akan tanah, serta tega memeras bawahannya. Dan karena ia haus kenikmatan, ia pun terjerumus ke dalam cacat Jawa, yang biasa disebut ma lima (main judi, madat, maling, mabuk, dan main perempuan).
Begitu menjadi enak dan mapan, Pak Samun ternyata dijajah oleh nafsunya sendiri. Akhirnya ia terpelanting dari hidupnya yang enak dan nikmat tadi, terlunta-lunta dan mati di bawah jembatan.
Jemek memeras kisah Pak Samun dalam kesimpulan, "Kebaikan dan kejujuran itu ternyata tidak pernah bebas dari pamrih. Pak Samun jujur dan baik, karena ia ingin memiliki posisi. Kejujuran dan kebaikannya ternyata pura- pura belaka. Setelah posisi diraihnya, kejujuran dan kebaikannya pun sirna. Tampaknya bila manusia terbebas dari pamrihnya, baru ia bisa menjadi baik dan jujur sepenuh-penuhnya. Tapi kapan manusia bisa bebas dari pamrihnya?"
Jemek sendiri mengakui, masa lalunya adalah jelek dan kelam. Tak mungkin ia bisa membebaskan diri seluruhnya dari kejelekan dan kekelaman itu. Maka Jemek menerima, jika kejelekan dan kekelaman itu tetap membayang-bayangi hidupnya.
Menurut Jemek, itulah sesungguhnya yang disebut karma. Karena keyakinannya itu dengan mudah Jemek melihat, penderitaan dan beban yang kini dia alami sebagai semacam karma yang harus ia tanggung karena kesalahan masa lalunya.
Memang sampai sekarang Jemek seakan selalu dicobai dengan berbagai kesulitan dan kepedihan. Treda, istrinya, sangat mencintainya. Namun karena kemalangan yang menimpa keluarganya, Treda mengalami gangguan psikis dan mental.
Bila kumat, Treda bertindak aneh- aneh, seperti layaknya orang yang terjerumus ke dalam depresi berat. Syukurlah di saat sehat, Treda yang pelukis itu bisa berkarya dengan normal. Jemek maupun Treda lebih bersyukur lagi, karena mereka dianugerahi seorang putri yang sehat. Anak mereka itu kini menjadi gadis yang cantik dan tabah. Ia menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.
Kadang lukisan Treda laku. Kadang dari pentas pantomimnya, Jemek mendapat honorarium ala kadarnya. Dengan rezeki yang hanya kadang-kadang itu, Jemek mempertahankan hidup keluarganya. Jelas, rezeki macam ini tidak cukup untuk bisa dijadikan jaminan bagi kelangsungan ekonomi keluarganya.
Tapi darimana lagi ia bisa mengharap datangnya rezeki? Jemek tak berkhayal. Ia menerima kesulitan ekonomis itu sebagai bagian hidupnya. Karena itu ia mempunyai pedoman sederhana: Tak usah berpikir bagaimana besok, asal hari ini ada yang dimakan, cukuplah.
Buat Jemek, setiap jam adalah kesempatan. Maksudnya, sebelum jam dua belas malam lewat, berarti masih ada kemungkinan ia akan mendapat uang. "Saya merasa sudah tenang, bila sebelum jam dua belas malam, saya mendapat uang, meski hanya lima ribu rupiah. Artinya, dengan uang itu saya masih bisa melanjutkan hidup keluarga saya sehari lagi," kata Jemek.
Spekulasi Jemek itu terbukti misalnya pada peristiwa akhir Maret lalu. Pagi hari ia buru-buru pergi ke Magelang. Di sana ia berpentas, ternyata usai pentas, ia hanya diberi sebuah buku. Lalu ia pulang ke Yogyakarta, dan pergi ke sudut kota, untuk pentas lagi.
Ternyata ia hanya diapresiasi dengan ucapan terima kasih. Jam sepuluh malam ia sampai di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta, di mana Ketoprak Ndheprok Ting Ting Hik sedang mementaskan lakon Wonk Ciak Wonk alias manusia makan manusia. Jemek diajak untuk memantomimkan secara spontan adegan manusia makan manusia itu. Ia tidak mengira, akhirnya malam itu ia menerima honorarium juga. "Benar kan, sebelum jam dua belas malam berlalu, rezeki bisa datang selalu," katanya.
Ada saja cara Jemek memperoleh uang. Yang paling sering dengan ikut berjudi kecil-kecilan. Jemek mengaku, sejak muda ia suka berjudi. Sekarang cacat itu belum hilang sama sekali. Ia masih suka berjudi kecil-kecilan dengan main domino, sam-gong, atau cliwik.
Sering ia juga bermain togel, toto gelap. Ia juga membantu seseorang untuk menggadaikan barangnya lalu membayar bunga pada seorang penjudi, karena orang tersebut membutuhkan modal untuk berjudi. Jemek memperoleh uang jasa bagi keperluan tersebut. Itulah yang dalam dunia judi disebut tumpang sari.
Jemek tahu, judi itu maksiat. Tapi justru dengan uang dari judi kecil-kecilan itu ia bisa melangsungkan hidupnya, paling tidak untuk besok pagi. "Buat saya, hidup ini adalah judi. Hidup ini adalah taruhan. Saya tidak tahu, apa yang akan terjadi. Dalam hidup ini saya hanya tahu, saya harus berani bertaruh," kata Jemek.
Di tengah kesempitan hidup semacam ini, Jemek tetap bertekun menjalankan kesenian. Padahal kesenian yang dijalankannya adalah pantomim, kesenian yang langka, tidak populer, serta tak menjamin rezeki. Karena ketekunan dan kesungguhannya itu pantaslah bila teman-teman seniman di Yogyakarta memperingati ulang tahunnya yang kelima puluh, awal bulan Maret lalu.
Sampai usianya yang kelima puluh ini, Jemek selalu berani berspekulasi seperti ini: bila ia naik kereta untuk berpentas di luar kota, Jakarta atau Bandung misalnya, ia tidak membawa uang, kecuali "uang tempel". Begitu ada kondektur memeriksa tiket, ia segera menyalaminya, dan menempelkan uang ke telapaknya.
Sering-sering hanya lima ribu rupiah. Walau dengan waswas, ternyata Jemek selalu dapat selamat sampai ke tujuan, lalu di sana main pantomim.
Jemek dan keseniannya memperlihatkan bahwa hidup ini bisa dijalankan dengan kreatif dan gembira, meski manusia selalu waswas, deg-degan serta tanpa jaminan apa-apa dalam menghadapinya. Jemek alias Pardi Kampret mungkin merasa, mungkin tidak, bahwa justru dalam kontradiksi itulah hidupnya sendiri telah menjadi seni. ***
Sindhunata Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta