Sena A. Utoyo dan Didi Petet tahun 1987 keduanya membuat wadah teater pantomim Sena Didi Mime.Kelompok ini memproklamirkan diri sebagai teater pantomim karena dalam penampilannya selalu melibatkan banyak pemain. Teknik gerak yang ditampilkan perpaduan gerak klasik, gerak modern, gerak tradisional dalam seni pantomim. Dalam garapannya selalu menampilkan tema sosial, suasana puitis serta simbolik. Hal itu dapat dilihat dalam karyanya seperti: Beca (1987), Stasiun (1988), Soldat (1989) Sekata Katkus du Fulus (1992), Se Tong Se Teng Gak (1994), dan Kaso Katro (1999). Jika dahulu Sena A. Utoyo (alm.) lewat kelompoknya Sena Didi Mime berusaha memasyarakatkan mime di Indonesia.
Sekarang masih adakah seniman mim sejati yang tetap setia menghidupi seni pantomim di Indonesia. Pengabdiannya yang panjang dan usianya setengah abad memang bukan hal yang mudah untuk tetap eksis dan intens dalam sebuah profesi. Siapa dia Seniman pantomim itu? Ternyata dia ada di Yogyakarta, namanya Jemek Supardi. Laki-laki kelahiran dusun Kembangan Pakem Sleman 22 Mei 1957 ini bertubuh kecil bahkan kecentet seperti Charlie Chaplin, jidatnya lebar. Penampilan kesehariannya sangat sederhana. Kaos, celana jeans belel dan topi biasa dikenakan. Tetapi kalau sudah diatas pentas gerak-geriknya bagaikan tiada tertandingi oleh siapa pun.
Masa kanak-kanak Jemek sudah akrab dengan keramian kota Yogya. Ia bersama keluarganya tinggal di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta yang sangat dekat dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) sekarang Pura Wisata. Latar pendidikan formal Jemek diawali di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Di SSRI ini ia hanya bertahan belajar selama dua bulan.
Jemek raja Kampret. Masa remaja Jemek diwarnai dalam kehidupan dunia hitam. Ia di lingkungan preman jamannya dikenal dengan nama kebesaran Kampret. Dimana daerah kekuasaan si Kampret berada di kawasan kuburan Kerkop THR Yogyakarta dan sekitarnya.Kampret adalah sejenis kelelawar, binatan malam yang biasa terbang mencari mangsa, mencuri buah-buahan di malam hari. Itulah sekilas masa lalunya Jemek Supardi. Berkat kesenian ia pun menjadi sembuh dari kebiasaan mengkampret.
Jemek dalam kesempatan tertentu mengatakan tentang seluk beluk dunia hitamnya. “Saya pernah masuk bui di Cirebon, nginap gratis di Kepolisian Ngupasan Yogya, akibat terseret dunia hitam. Itu kenyataan hidup saya yang tidak dapat dipungkiri. Berkat kesenian, saya dapat hidup normal. Saya berhutang budi pada kesenian sebab saya diberi pelajaran hidup yang berharga oleh seni. Untuk itu saya tidak dapat lepas dari seni, khususnya pantomim. Pantomim membuat saya ada artinya. Simbok saya pun menjadi tenteram dengan kehidupan saya yang menekuni kesenian. Tidak seperti dulu, terseret dunia jahat”.
Awal mula Jemek mengarungi dunia seni dilakukan di sanggar atau kelompok teater. Tahun 1974 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN. Ia banyak belajar dalam bidang artistik, sebagai kru pementasan dan selalu serius mengikuti olah tubuh. Di kelompok inilah asalmuasalnya Jemek berpantomim. Jemek selalu mengikuti Merit Hendra latihan pantomim. Segala gerak-gerik Merit ditirukan, ia pun rajin berlatih secara terus menerus tentang bahasa tubuh.Selain di Teater Alam, Jemek juga aktif di Teater Dipo yang merupakan cikal bakal Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno. Beberapa pentas bersama Teater Dinasti yang dialami Jemak antara lain: Syeh Siti Jenar, Gendrek Sapu Jagad, Geger Wong Ngoyak Macan, Umang-umang. Kemudian Jemek bersama Jujuk Parbowo pernah membantu Yullie Taymor, seorang teaterawan boneka Amerika Serikat keliling Indonesia.
Pemahaman Jemek tentang pantomim masih jauh dari sempurna, baru tahun 1975 ketika di gedung Seni Sono Art Galery ada pementasan mime berjudul Manusia dan Kursi oleh Wisnu Wardhana, maka pantomim semakin menjadi perhatiannya. Kenapa Jemek memilih pantomim, seperti dituturkannya:”Saya menggeluti pantomim, soalnya saya itu sangat kesulitan menghafalkan naskah dalam setiap produksi teater. Jika disuruh menghafalkan naskah selalu tidak nyantol, maka saya lebih puas bergerak melalu seni pantomim ini”. Mulai saat itulah Jemek menjatuhkan pilihan pada pantomim sebagai wahana ekspresi artistiknya.
Dunia seni pantomim bagi Jemek Supardi mepakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Jemek berkat pantomim dapat menemukan kembali kesadarannya sebagai manusia normal. Ia kembali dalam kewajaran manusia yang harus bermasyarakat. Kapan Jemek mulai berpentas pantomim? Secara lugas dijawabnya, “Persisnya saya lupa. Kalau tidak salah mulai tahun 1976. Pertama kali mendukung pementasan pantomim Azwar AN., yang berjudul Malin Kundang di gedung Seni Sono Art Galery. Saya pun tidak muncul penuh, hanya telapak tangan dan telapak kaki saja yang dilihat penonton. Itulah awal saya ikut pentas pantomim, belum pentas sendiri”.
Proses kreatif Jemek dalam mecipta pantomim dilakukan dengan menggeliding. Lebih kanjut dipaparkan sebagai berikut:”Dalam mencipta, mime, ya, saya menggelinding saja. Seperti dalam kehidupan ini. Saya sudah di cap sebagai pantomimer, maka saya harus berkarya. Yang penting bagi saya mengolah tubuh supaya luwes, ada ide yang orisinal, keberanian berekspresi dan mementaskannya secara serius”. Proses yang dilakukan Jemek dengan olah tubuh, yakni bagaimana seorang seniman harus bekerja keras menyiapkan dirinya masuk dalam proses berkesenian secara total. Dengan demikian pasrah dirilah. Mental, pikiran dan tubuh harus lentur.
Karya seni mime Jemek Supardi biasanya dibawakan tunggal dan kolektif. Dekade 1970-an merupakan masa proses pencarian mime Jemek Supardi, yang terangkum dalam Sketsa-sketsa Kecil (1976-2979). Delkade 1980-an karya-karyanya seperti: Perjalanan hidup dalam gerak (1982), Jemek dan Laboratorium, Jemek dan teklek, Jemek dan Katak, Jemek dan Pematung, Arwah Pak wongso, Perahu Nabi Nuh (1984), Lingkar-lingkar, Air, Sedia Payung Sesudah Hujan, Adam dan Hawa, Terminal-terminal, Manusia Batu (1986), Kepyoh (1987), Patung selamat datang, Pengalaman Pertama, Balada Tukang beca, Halusinasi, dan Wamil (1988). Dekade 1990-an, karya-karyanya meliputi: Maisongan (1991), Menanti di Stasiun (1992),Termakan Imajinasi (1995), Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-kotak, Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badut-badut republik atau Badut-badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak menangis, Menunggu Waktu, Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta (1998) dan Eksodos (2000).
Mas Jemek yang sudah mencurahkan hidupnya di pantomim saat ini pun tetap tinggal di bilangan Jl. Brigjen Katamso didampingi sang isteri Treda dan putrinya Sekar bahkan tetap setia menunggui Simboknya. Fenomena Jemek dalam era reformasi semestinya akan semakin menambah munculnya “mimer sejati”. Siapa yang berani memasuki dunia kesejatian diri seperti Jemek Supardi? Broto Wijayanto, kau mau jadi generasi atau yang lain? Dan ruang waktu lah yang akan menguji !
Sekarang masih adakah seniman mim sejati yang tetap setia menghidupi seni pantomim di Indonesia. Pengabdiannya yang panjang dan usianya setengah abad memang bukan hal yang mudah untuk tetap eksis dan intens dalam sebuah profesi. Siapa dia Seniman pantomim itu? Ternyata dia ada di Yogyakarta, namanya Jemek Supardi. Laki-laki kelahiran dusun Kembangan Pakem Sleman 22 Mei 1957 ini bertubuh kecil bahkan kecentet seperti Charlie Chaplin, jidatnya lebar. Penampilan kesehariannya sangat sederhana. Kaos, celana jeans belel dan topi biasa dikenakan. Tetapi kalau sudah diatas pentas gerak-geriknya bagaikan tiada tertandingi oleh siapa pun.
Masa kanak-kanak Jemek sudah akrab dengan keramian kota Yogya. Ia bersama keluarganya tinggal di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta yang sangat dekat dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) sekarang Pura Wisata. Latar pendidikan formal Jemek diawali di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Di SSRI ini ia hanya bertahan belajar selama dua bulan.
Jemek raja Kampret. Masa remaja Jemek diwarnai dalam kehidupan dunia hitam. Ia di lingkungan preman jamannya dikenal dengan nama kebesaran Kampret. Dimana daerah kekuasaan si Kampret berada di kawasan kuburan Kerkop THR Yogyakarta dan sekitarnya.Kampret adalah sejenis kelelawar, binatan malam yang biasa terbang mencari mangsa, mencuri buah-buahan di malam hari. Itulah sekilas masa lalunya Jemek Supardi. Berkat kesenian ia pun menjadi sembuh dari kebiasaan mengkampret.
Jemek dalam kesempatan tertentu mengatakan tentang seluk beluk dunia hitamnya. “Saya pernah masuk bui di Cirebon, nginap gratis di Kepolisian Ngupasan Yogya, akibat terseret dunia hitam. Itu kenyataan hidup saya yang tidak dapat dipungkiri. Berkat kesenian, saya dapat hidup normal. Saya berhutang budi pada kesenian sebab saya diberi pelajaran hidup yang berharga oleh seni. Untuk itu saya tidak dapat lepas dari seni, khususnya pantomim. Pantomim membuat saya ada artinya. Simbok saya pun menjadi tenteram dengan kehidupan saya yang menekuni kesenian. Tidak seperti dulu, terseret dunia jahat”.
Awal mula Jemek mengarungi dunia seni dilakukan di sanggar atau kelompok teater. Tahun 1974 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar AN. Ia banyak belajar dalam bidang artistik, sebagai kru pementasan dan selalu serius mengikuti olah tubuh. Di kelompok inilah asalmuasalnya Jemek berpantomim. Jemek selalu mengikuti Merit Hendra latihan pantomim. Segala gerak-gerik Merit ditirukan, ia pun rajin berlatih secara terus menerus tentang bahasa tubuh.Selain di Teater Alam, Jemek juga aktif di Teater Dipo yang merupakan cikal bakal Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno. Beberapa pentas bersama Teater Dinasti yang dialami Jemak antara lain: Syeh Siti Jenar, Gendrek Sapu Jagad, Geger Wong Ngoyak Macan, Umang-umang. Kemudian Jemek bersama Jujuk Parbowo pernah membantu Yullie Taymor, seorang teaterawan boneka Amerika Serikat keliling Indonesia.
Pemahaman Jemek tentang pantomim masih jauh dari sempurna, baru tahun 1975 ketika di gedung Seni Sono Art Galery ada pementasan mime berjudul Manusia dan Kursi oleh Wisnu Wardhana, maka pantomim semakin menjadi perhatiannya. Kenapa Jemek memilih pantomim, seperti dituturkannya:”Saya menggeluti pantomim, soalnya saya itu sangat kesulitan menghafalkan naskah dalam setiap produksi teater. Jika disuruh menghafalkan naskah selalu tidak nyantol, maka saya lebih puas bergerak melalu seni pantomim ini”. Mulai saat itulah Jemek menjatuhkan pilihan pada pantomim sebagai wahana ekspresi artistiknya.
Dunia seni pantomim bagi Jemek Supardi mepakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Jemek berkat pantomim dapat menemukan kembali kesadarannya sebagai manusia normal. Ia kembali dalam kewajaran manusia yang harus bermasyarakat. Kapan Jemek mulai berpentas pantomim? Secara lugas dijawabnya, “Persisnya saya lupa. Kalau tidak salah mulai tahun 1976. Pertama kali mendukung pementasan pantomim Azwar AN., yang berjudul Malin Kundang di gedung Seni Sono Art Galery. Saya pun tidak muncul penuh, hanya telapak tangan dan telapak kaki saja yang dilihat penonton. Itulah awal saya ikut pentas pantomim, belum pentas sendiri”.
Proses kreatif Jemek dalam mecipta pantomim dilakukan dengan menggeliding. Lebih kanjut dipaparkan sebagai berikut:”Dalam mencipta, mime, ya, saya menggelinding saja. Seperti dalam kehidupan ini. Saya sudah di cap sebagai pantomimer, maka saya harus berkarya. Yang penting bagi saya mengolah tubuh supaya luwes, ada ide yang orisinal, keberanian berekspresi dan mementaskannya secara serius”. Proses yang dilakukan Jemek dengan olah tubuh, yakni bagaimana seorang seniman harus bekerja keras menyiapkan dirinya masuk dalam proses berkesenian secara total. Dengan demikian pasrah dirilah. Mental, pikiran dan tubuh harus lentur.
Karya seni mime Jemek Supardi biasanya dibawakan tunggal dan kolektif. Dekade 1970-an merupakan masa proses pencarian mime Jemek Supardi, yang terangkum dalam Sketsa-sketsa Kecil (1976-2979). Delkade 1980-an karya-karyanya seperti: Perjalanan hidup dalam gerak (1982), Jemek dan Laboratorium, Jemek dan teklek, Jemek dan Katak, Jemek dan Pematung, Arwah Pak wongso, Perahu Nabi Nuh (1984), Lingkar-lingkar, Air, Sedia Payung Sesudah Hujan, Adam dan Hawa, Terminal-terminal, Manusia Batu (1986), Kepyoh (1987), Patung selamat datang, Pengalaman Pertama, Balada Tukang beca, Halusinasi, dan Wamil (1988). Dekade 1990-an, karya-karyanya meliputi: Maisongan (1991), Menanti di Stasiun (1992),Termakan Imajinasi (1995), Pisowanan, Kesaksian Udin, Kotak-kotak, Pak Jemek Pamit Pensiun (1997), Badut-badut republik atau Badut-badut Politik, Bedah Bumi atau Kembali ke Bumi, Dewi Sri Tidak menangis, Menunggu Waktu, Pantomim Yogya-Jakarta di Kereta (1998) dan Eksodos (2000).
Mas Jemek yang sudah mencurahkan hidupnya di pantomim saat ini pun tetap tinggal di bilangan Jl. Brigjen Katamso didampingi sang isteri Treda dan putrinya Sekar bahkan tetap setia menunggui Simboknya. Fenomena Jemek dalam era reformasi semestinya akan semakin menambah munculnya “mimer sejati”. Siapa yang berani memasuki dunia kesejatian diri seperti Jemek Supardi? Broto Wijayanto, kau mau jadi generasi atau yang lain? Dan ruang waktu lah yang akan menguji !
2 komentar:
[B]NZBsRus.com[/B]
Skip Slow Downloads Using NZB Files You Can Quickly Find High Quality Movies, PC Games, MP3 Singles, Software and Download Them @ Blazing Rates
[URL=http://www.nzbsrus.com][B]NZB[/B][/URL]
You could easily be making money online in the underground world of [URL=http://www.www.blackhatmoneymaker.com]google blackhat[/URL], It's not a big surprise if you don't know what blackhat is. Blackhat marketing uses little-known or misunderstood ways to build an income online.
Posting Komentar